Hal yang seharusnya kita tidak tahu.

Ini akan menjadi pembenaran atas perkataan Nataliel yang dimaksud bahwa seluruh percakapannya dengan Desmond bukanlah mengenai konser amal. Desmond hanya membahas dua atau tiga kalimat mengenai hal itu kemudian berpindah dengan menyebut nama seseorang. Gabriel. Desmond mengatakan bahwa kedatangannya hanya semata-mata untuk Gabriel. Berada di atas panggung bersama Keano menjadi opsi kedua. Gabriel, aku akan menemuinya di konser amal dan melamarnya. Hal yang membuat Nata sedikit kaget namun wajar, toh saat pandangan pertama Nata juga sempat kagum kepada Gabriel.

Setelah sesi obrolan tersebut, ada seseorang yang khawatir namun di waktu yang sama, Keano dan Gabriel duduk di sofa dengan beberapa makanan ringan di depan mereka. Tv terus menyala menampakkan visual yang acak, mereka berdus terdiam sejak 5 menit yang lalu saat Gabriel tak sengaja mengatakan sesuatu yang membuat Keano berfikir keras. Permainan Truth or Dare. Keano bertanya apakah Gabriel menyukainya dalam pilihan Truth dan Gabriel berkata iya. Mereka tidak langsung terdiam namun ada kecanggungan yang dibuat.

“Sejak kapan?” Keano bertanya sambil menoleh ke arah Gabriel. “Gue kira lo ngerti kalau manager gaboleh suka sama artisnya?”. Gabriel tertawa memecahkan keheningan, berusaha untuk meyakinkan Keano bahwa semuanya hanyalah permainan dan ia tak mungkin suka padanya.

“Jadi lo beneran percaya kalau gue suka sama lo?” Gabriel memastikan dengan senyum yang masih terpampang di wajahnya. Matanya menyipit karena ujung bibirnya yang tertarik namun ia berusaha membuka matanya. “Gue percaya karena lo pernah cium gue di studio.”

Kejadian entah kapan namun Gabriel yakin bahwa ia sudah menghapus hal itu dari ingatannya. “Hah?” senyumnya memudar. “C-cium apaan?”

“Lo mabok dan langsung cium gue. Di bibir,” Jawab Keano. “Itu ciuman pertama gue dan gue anggap itu alasan lo suka sama gue. Bukan, itu bisa jadi bukti kalau lo suka sama gue.”

“Lo kenapa jadi inget kejadian yang lalu sih, No?”

“Itu bukti. Lo beneran suka sama gue kah?” Keano menoleh. Gabriel tidak merespon apapun namun kemudian ia hanya tertawa kecil seperti seolah-olah jawaban Keano adalah imajinasi belaka.

“Omong kosong apaan itu, Keano?”

“Dan lo sekarang lagi ga mabok, Gabriel. Dua hal yang lo lakuin pas lo sadar dan pas lo mabok. Guess what?” Keano masih menatap pemuda di depannya. “Secara ga langsung, lo nyatain perasaan ke gue, Gabriel.”

Gabriel menunduk. Benar jika ia menyukai Keano namun ia tidak ingin menunjukkan hal itu. Sebenarnya, perasaannya masih abu-abu mengenai Keano. Ia pikir, ia terlalu memperhatikan artisnya dan memberikan apapun yang bisa ia berikan. Gabriel jatuh sendiri karena kebaikannya sendiri dan untuk masalah perasaan, Keano tidak akan ikut andil.

“Kita bisa ngomongin konser amal aja?”

“Nata yang urus.”

“Tapi gue manajer utama. Lo harus bahas itu sama gue.”

“Tapi lo sendiri yang bilang soal apapun itu tentang konsel amal, Nata yang urus.”

“Tapi kan—“ dan pada saat itu Gabriel ter-bungkam. Keano baru saja mendaratkan bibirnya. Napasnya terasa menyentuh kulit pipinya dan bulu mata lentik Keano terlihat jelas di pandangan Gabriel. Sedikit lama dan Keano kembali ke posisi awal.

I’ll try to make this work. Mari buktikan kalau lo bener-bener suka sama gue apa ngga.” Jelas bahwa pikiran Gabriel kosong sekarang untuk membalas perkataan Keano. Ciuman tiba-tiba saat tidak mabuk terasa nyata. Perhatian Keano kini berpindah ke ponselnya saat nama Nata terpampang. Ia membalasnya dan nampaknya Keano mengundang Nata untuk ikut dalam pesta kecilnya.

“Gue suruh Nata ke sini buat beli cemilan lagi. Lo habisin semuanya.”

Keano beranjak membereskan sampah yang berada di meja. Bukan meninggalkan Gabriel begitu saja, seorang Keano juga punya jantung. Entah kebodohan apa yang merasukinya hingga mencium managernya sendiri. Keano bersembunyi di kamar mandi setelah ia berpamitan untuk meminjamnya sebentar. Gabriel. Pemuda yang ia cium adalah Gabriel. Sedikit lama Keano bersembunyi namun ia menunggu sesuatu. Entah apa namun ia tidak bisa mendapatkannya. Hingga bel berbunyi dan Keano langsung menuju pitu dan membukanya.

“Nat, masuk.” Ajak Keano.

“Kamu kenapa baru balas sih?!” Nata kira Keano cemburu kepadanya namun saat melihat senyumnya, Keano benaar-benar dalam keadaan hati yang baik.

“Tadi ngobrol soal konser amal. Ayo masuk.”

Nata masuk dengan beberapa buah di tangannya. Ia baru saja mengetahui bahwa Gabriel sakit setelah Keano membalas pesannya. Bukan sakit namun Keano masih menganggapnya seperti itu.

“Eh Nat, dari rumah ya? Jauh jauh lo kesini disuruh Keano. Jahat emang orang satu itu.” Gabriel tertawa setelah berhasil memecahkan suasana canggung antara Keano dan dirinya. Tapi lebih tepatnya, Nata yang mencairkan suasana.

Nata memberikan buah kepada keano dan mengupaskannya untuk Gabriel walaupun ia berkali-kali mengatakan bahwa ia tidak sakit. Perbincangan mereka kini mengarah ke konser amal, hal yang seharusnya menjadi topik utama. Namun, Nata teringat Desmond saat melihat Gabriel. Ia sekarang melihat Gabriel sebagai gebetan Desmond, bukan manager utama.

“Nat.” panggil Keano tiba-tiba. Nata menjawab, “Iya?” “Pulang bareng gue ya abis ini. Lo sendiri kan ke sini?” Nata mengangguk. “Kamu bawa mobil ya? Kebetulan aku lagi ga bawa mobilnya.” Nata melakukan pekerjaannya sebagai manager, pelindung HOLY.

“Kayaknya ini udah malem dan kalian berdua butuh istirahat juga. Dan gue, mau istirahat jadi …” Gabriel memanjangkan intonasi ucapannya. Matanya kerap menangkap mata Keano yang menatapnya.

“Yaudah, ketemu besok di kantor.” Keano membantu Gabriel membereskan semuanya sedangkan Nata bersiap dan memunguti semua barang Keano yang ia bawa. “Nat duluan aja ya, gue bantu bersih bersih dulu.” Nata mengangguk dan memilih menunggu di pintu luar.

Nata senang saat mengetahui bahwa Keano tidak cemburu padanya. Pikirnya, Keano bukanlah orang yang gampang cemburu ,terlebih Desmond adalah sahabatnya. Apakah ia harus menjelaskan semuanya? Melihat kedekatan Keano dan Gabriel, sepertinya Desmond butuh bantuan Keano untuk proses hubungannya.

Dan di sisi lain, Gabriel berdiri menatap Keano yang mengelus pipinya dengan lembut. “Kalau gabisa ke kantor besok, istirahat aja,” ucapnya kepada Gabriel. “Gue bisa kok! Lo pikir gue masih sakit apa?” Keano tertawa mendengar celetuk Gabriel. Oh, ada Nata yang menunggu dan Keano harus pulang.

Keano kemudian berpamitan dengan senyum di wajahnya, menghampiri Nata dengan tas jinjing yang berada di tangannya.

“Ini langsung pulang kan ya?” Keano mengangguk, mengikuti langkah Nata keluar dari gedung. Selama perjalanan menuju mobil, Nata menceritakan semuanya tanpa pertanyaan dari Keano seperti darimana dia atau apa yang sedang ia lakukan sebelum ke rumah Gabriel.

“Adek kamu sakit?”

“Koma.” Nata menarik sabuk pengaman Keano dna memasangkannya. Ia mulai menyalakan mesin dan sepertinya Keano tidak memindahkan pandangannya dari Nata.

“Tapi kok kamu kayak baik-baik aja? Kamu gak khawatir?” Mobil perlahan berjalan dan Nata tertawa kecil. “Siapa bilang aku gak khawatir? Setiap detik aku khawatir.” Pandangan Keano kini berubah ke arah jalan yang berada di depannya.

“Gimana keadaannya?”

“Dia baik kok. Minus nya aku gabisa ngobrol sama dia.”

“Makanya kamu main ps sama Julian?”

“Kalau bukan Julian, siapa lagi?” Nata berucap dengan santai namun sepertinya Keano merasa bersalah. Jika bukan Julian, entah dengan siapa lagi Nata bermain. Keano? “Aku.” Keano menyeletuk.

“Kamu? Kamu mau main sama aku?” tanpa mengalihkan pandangannya, Nata bertanya.

“Why not? Kamu anak baik. Kenapa aku gamau main sama kamu coba?” Nata tersenyum. “Jadi kapan kita mainnya?”

“Besok.” Keano sangat spontan. Bahkan ia pun tidak tahu kenapa.

“Besok? Tiba-tiba?”

“Ajak aku ketemu adek kamu, Nat.” Nata sedikit menoleh namun ia menggeleng. “Engga,” jawabnya, “Rumah sakit yang adek tempati itu rumah sakit biasa. Banyak orang, kamu bakal gampang dikenalin sama orang-orang.”

“Aku yakin ga ada yang bakal ngenalin aku.”

“Kenapa begitu yakin?”

“Ada kamu,” ucap Keano. Nata menoleh sekali lalu pandangannya kembali ke jalanan. “Emangnya kenapa kalau ada aku? Ga otomatis semua orang minggir. Ada namanya handphone. Foto dari jarak jauh bisa dan itu bisa masuk media,” jawab Nata.

“Selama di deket kamu, aku yakin aku bakal ga apa-apa Nat.” Tapi apakah Nata baik-baik saja dengan hatinya saat ia berada di dekat Keano? Karena saat ini saja, jantung pemuda itu seperti berpacu layaknya mesin mobil yang ia tumpangi.

“Untuk ketemu adek, aku bisa bawa kamu setelah konser amal.” Nata mengalihkan pembicaraan. “Aku mau kamu fokus ke konser amal dan kolaborasi Desmond.”

“Desmond bilang apa?”

“Satu lagu setelah lagu pertama yang kamu bawain. Bisa kan?” Keano mengangguk atas pertanyaan Nata. “Itu permintaan Desmond atau permintaanmu Nat?” Keano memastikan. “Kenapa emangnya kok nanya gitu?”

“Kalau permintaan Desmond, aku bisa aja kolaborasi di lagu terakhir. Kalau permintaanmu, lagu kedua boleh. Bahkan semua lagu pun bisa.” Lagi, Nata ingin membanting stir namun ia tetap waras. Mengapa kata-kata seperti itu sangat berpengaruh terhadap hati kecilnya? Nata terlalu perasa namun ia tidak bisa membantunya.

“Kesepakatan kita berdua! Kamu berhak kok buat nolak.”, “Untuk Nata, aku gabakal nolak.” Entah itu perkataan jujur atau hanya bualan manis belaka namun yang pasti, Nata salting bukan kepalang dibuatnya.

Hatinya berbunga-bunga selama mengantar Keano pulang. Bahkan rasanya berat untuk menjemput Keano esok hari karena ia masih ingin tetap waras. Nata berusaha waras, berusaha tenang dalam pikiran, dan berusaha untuk menangkap semua perkataan manis Keano sebagai bualan belaka.