Is it the end?

Mata Bastian mengikuti gerak-gerik Sian saat pemuda itu mulai masuk dengan beberapa kantong belanja di kedua tangannya. Kemudian matanya berpindah ke arah Sagara yang menyusul masuk. Sagara sadar jika Tama dan Bastian sedang bersantai di sofa tamu namun yang ia ketahui bahwa Bastian sedang terlelap. Tidak. Matanya justru terbuka sedikit, menatap Sagara dalam diam.

Entah ingin menyapa atau tersenyum saja rasanya Bastian tidak tau. Matanya masih terkunci pada sosok Sagara yang bercanda gurau dengan Sian sedangkan dirinya masih dengan posisi tidur menyamping di sofa dengan raut wajah datar. Apakah dia orang yang kemarin ingin ia lepaskan? Rasanya sangat aneh bahwa Sagara tidak melakukan hal-hal seperti mengganggunya sekarang.

“Sian! Kok lo lama banget?” Tama mulai menyapa. Bastian sedikit menutup matanya saat Tama mulai melemparkan stik PS ke sofa.Sian dan Sagara menghampiri mereka kemudian Bastian mulai menegakkan tubuhnya terbangun dan mengusap wajahnya seolah-oalh ia baru saja terbangun.

“Belanja titipan bunda. Gimana? Enak tidurnya Bas?” Sian kemudian duduk setelah menjawab pertanyaan Tama dan langsung merangkul Bastian yang kemudian membuat muka dari Sagara.

Rasa enggan untuk menatap sangat besar, apalagi Sagara tidak mengatakan sepatah kata apapun untuk menyapa Bastian. Rasanya ingin pulang namun ia merasa tidak enak dengan Sian dan Tama. Bastian hanya menyender di rangkulan Sian tanpa menatap Sagara yang berdiri di samping Sian saat itu.

“Oh, Bunda masak apa? Boleh bantu ga?” Tama memulai obrolan. Tatapannya saling bertukar oleh Sian seakan ingin memberi ruang terhadap Bastian dan Sagara. Keduanya langsung meninggalkan Bastian yang tubuhnya berganti menyender di sofa.

Bastian memberanikan diri, ia mendanggak menatap Sagara yang sedari tadi menatapnya diam di dekat sofa.

“Kenapa?”

Sagara hanya menggeleng dengan raut wajah datar kemudian duduk di sofa sebelah. Canggung, tidak ada pembicaraan selama beberapa menit. Bastian terpaku dengan animasi yang berada di dalam layar kaca sedangkan Sagara seperti menunggu Bastian mengatakan sesuatu. Ia menatap Bastian tanpa jeda namun saat Bastian kembali menatapnya, Sagara membuang muka.

“Kalau ada yang mau diomongin, bilang aja. Lagi bagus moodnya kok,” ucap Bastian kembali mengarahkan pandangannya ke layar kaca.

“Kata Sian, kakak lagi kesulitan ya?”

Bastian menatapnya dengan malas. Jika hal pekerjaan yang Sagara ingin bahas, ia total tidak suka. Energinya kembali menurun jika membahas suatu kegagalannya.

“Tau apa aja emangnya dari Sian?” Bastian berusaha mengontrol suasana hatinya. Satu pertanyaan tidak akan bisa meruntuhkan pertahanannya.

“Yaudah gausah dibahas kalau emang kakak gamau.”

“Emang gue bilang gamau bahas?” Salah. Bastian tidak berfikir sebelum berbicara. Dia seperti terperangkap dalam jebakan Sagara.

“Mau bahas?”

“Ya gue tanya emang tau apa aja, kalau tau sampai situ aja yaudah gue ga perlu ceritain apa apa lagi kan?” nada Bastian sangat ketus namun pelan, itu adalah perlindungan dirinya agar ia tidak goyah dalam membutuhkan perhatian Sagara.

“Dapet perlakuan yang ga sopan, dipaksa minum. That’s bad.” Sagara masih tidak menunjukkan ekspresinya. Ia berusaha keras untuk tidak menyinggung perasaan mantan kekasihnya itu walaupun di lubuk hatinya yang paling dalam ia tidak segan untuk mendatangi pria yang berani melakukan hal tersebut.

“Kalau cuman tau masalah itu, yaudah sampai itu aja,” ucap Bastian kemudian kemabli berusaha mem-fokuskan dirinya pada animasi tersebut. Sagara sedikit menghembuskan nafasnya.

Ia sangat khawatir terhadap Bastian namun pemuda itu seperti menyembunyikan hal yang bisa membuat Sagara prihatin. Sejujurnya, Sagara tidak menarik ulur hubungannya selama ini. Ia masih berusaha mencari jalan keluar dari hati dan pikirannya. Ia juga hanya ingin Bastian mengambil langkahnya sendiri tanpa adanya campur tangan Sagara. Bastian sudah cukup dewasa dalam menentukan pilihan hubungan dan Sagara tidak berhak selalu mengikuti egonya. Namun satu hal yang ia ingin pastikan sebelum melepas Bastian secara penuh, kesungguhan dirinya sendiri.

“Kak Tian, boleh ngobrol bentar di luar?” ajak Sagara.

Mau tidak mau, Bastian mengikuti. Secara langsung, ia siap jika Sagara beanr-benar melepaskannya dan Bastian siap melepas.

“Boleh.”

Bastian mengikuti Sagara ke halaman depan. Duduk di sebuah kursi halaman dan kali ini, Sagara lah yang enggan untuk menatap Bastian.

“Saga-“

“Kak Tian—“

Keduanya saling bersautan namun Bastian mempersilahkan Sagara untuk bebricara telebih dahulu.

“Kak Tian, bukan mau gue buat kakak bingung soal perasaan kalau emang hal itu yang jadi salah satu pengganggu pikiran,” ucap Sagara. Bastian sedikit tidak tenang, ia belum siap mendengar kelanjutan ucapan Sagara.

“Kita ga ngobrol berapa bulan, Saga. Lo tau rasanya kah?” nadanya masih pelan, masih berusaha mengontrol perasaan. Bastian menekankan pada dirinya agar tidak meledak dan membuat keadaan jadi makin sulit.

“Ada kesalah pahaman di sini kak. That’s why we need to talk, okay?” Sagara berusaha berfikir dengan kepala dingin namun sayangnya, Bastian justru mulai kalut dengan pikirannya sendiri. Entah dari kapan Bastian mulai meremas tangannya sendiri seperti takut akan sesuatu, Sagara sadar akan hal itu. Ia berusaha sebisa mungkin agar keadaan tidak menjadi buruk.

“Sejak di Paris, dan setelah itu. Gue ngerasa udah berubah. People changed ofcourse, but Sagara? You make me feel like that I’m just a stranger to you.”

Sagara menoleh, berusaha menyerap apa yang dikatakan Bastian. Saat mengantar Bastian ke bandara, dia berusaha untuk tidak menangis dan memeluknya. Sagara sangat berusaha dan Bastian tidak tau akan hal itu. Keduanya sama-sama menyembunyikan kesedihan. Sagara merasa bersalah saat ia berkata bahwa ia lelah terhadap sikap Bastian yang suka seenaknya. Bastian yang tidak pernah mendengar kata Sagara, demi kebaikan Sagara sendiri. Ia terus memandangi Bastian yang pandangannya tidak pernah berpindah dari apa yang berada di depannya.

“Lo nganterin gue ke bandara, gaada obrolan selama sebulan. Then you came, nanyain kabar dan bilang gue manis karena gue talking nonsense. Tell me Sagara, pas gue mabok lo kan yang suruh Sian isi botol gue?”

“Kak, gue gapernah nganggep lo sebagai stranger,” ucap Sagara menimpali. Namun Bastian langsung mengeluarkan kalimat lainnya.

“Then why?? Why Sagara? Lo bikin gue bingung dengan kata-kata manis lo dan ngasih gue harapan kemudian bikin gue kayak gini? I’m not gonna act like this if I’m not your ex but ironically, I am.” Bastian sedikit merendahkan nada suaranya di akhir kalimat.

Berusaha untuk tidak melepaskan emosi apapun di hadapan Sagara, ia tidak boleh menangis kesal.

“Terus kalau gitu, kenapa gak nyerah aja sekalian, kak Tian?” Sagara mulai menekankan kata-katanya. Ia harus bisa meluruskan masalah ini. “Kalau kak Tian emang gabisa, then go. Gampang kan? I’ll let you go, you let me go. Jangan cuman mau didengar, make it easy then,” ucap Sagara sedikit meninggikan nada suaranya membuat Bastian sedikit takut namun ia berusaha keras untuk bisa meluruskan masalah ini dengan Sagara.

“Then talk. Ngomong, lo lakuin semuanya yang lo mau tanpa ngomong. Bertindak seenaknya. Gue mantan lo, Saga. Perhatian sekecil apapun bakal bisa bikin gue berharap tapi lo malah kayak gini,” ucap Bastian sedikit emosi.

Ia berbalik menatap Sagara kemudian berkata, “You said that make it easy, I’ll let you go and you do the same. But why curious about my problems? Kenapa lo nanya? Tarik ulur lagi, Sagara?”

“Karena lo cuman mau semuanya terjadi berdasarkan kemauan lo! You never listen to me, Kak Tian. Never.”

“Karena lo bohong atas banyak hal—“

“Then you didn’t trust me the whole time? Apa arti bertahun-tahun pacaran? Is it a lie?”

“gue ga bilang gue gak percaya—“

“Konsekuensi emang kalau lo ga percaya sama gue kak, gue terima. Tapi jadiin alasan itu buat hal kayak gini? You’re sick.”

Lagi, Sagara dengan umpatan kotornya ke Bastian. Entah hal apa yang akan menghentikan Sagara akan hal itu. Umpatan kotornya seperti tidak berdampak lagi namun entah kalimat apa yang membuat Bastian sedikit merasakan sesak di dada. Kalimat bahwa hubungannya adalah kebohongan berhasil membuatnya sedikit kesal dan sedih. Bastian tersenyum miring melihat tingkah Sagara saat ini, dengan pupil mata yang bergetar Bastian tau bahwa Sagara bersungguh-sungguh atas ucapannya.

“Gue percaya lo, selama ini. Yang gue tegaskan cuman perasaan lo, Sagara. Lo bohong soal perasaan sedih, lelah, semua yang ganggu lo secara personal. Kalau emang semuanya kayak gini, you’re the one who didn’t trust me.”

Tidak, pertahanan Bastian belum runtuh. Ia masih berusaha menenangkan hatinya.

“Lo yang ga percaya gue buat pegang hati lo sepenuh itu, ga percaya bahwa gue bisa lindungin lo. Ga percaya semua apa yang harus gue lakuin ke lo. Sampai akhirnya I become a moron who ask you about this fucking relationship, ask you to coming back, always ask but got nothing,” ucap Bastian dengan matanya yang mulai berkaca-kaca. Kini ia enggan menatap pemuda yang sedari tadi diam di depannya.

“Kak Tian, kalau emang gitu, I will let you go.”

Atas ucapan Sagara, Bastian terdiam. Ia masih menunduk. Berusaha tidak menangis namun gagal, air matanya turun begitu saja. Ia seakan tidak mempunyai tenaga untuk emngangkat wajahnya dan menatap Sagara.

Sedangkan Sagara tidak bisa berbuat apa-apa selain memandangi Bastian yang masih menunduk. Rasa ingin memeluk namun bukan saatnya. Tidak ada pelukan untuk Bastian, mungkin untuk selamanya. Ia tidak ingin berpisah namun ia kini memilih pikirannya, melepaskan Bastian dari ‘pelukannya’ agar ia bisa bebas. Rasanya perih, Sagara tau rasanya namun benar yang dikatakan Bastian bahwa Sagara tidak ingin menunjukkan kesedihannya.

“There’s no us. And let’s not care about each other.”

Kalimat terakhir Bastian saat ia meninggalkan Sagara dan berlalu pergi begitu saja keluar dari rumah. Sagara tidak bisa mengejar, tidak ada hak untuk mengejar. Apa yang ingin ia lakukan sudah selesai, Bastian memilih jalannya sendiri.