rencontré, Askar
Bukan masalah besar bagi Bastian saat Sagara tidak menepati janjinya untuk bertemu. Mereka sudah berhubungan sejak lama, hal seperti ini mempunyai alasan yang logis dan bagi Bastian, tidak patut untuk dipertengkarkan. Ia dewasa dalam hubungan percintaan saat Sagara dan ia memulai hubungan. Sagara yang kadang ke-kanak-kanakan mulai perlahan mengerti harus apa dan kenapa. Bastian dan Sagara saling menuntun. Di sinilah Bastian sekarang, mengamati beberapa lukisan dan mengambil beberapa footage di kameranya.
Matanya menangkap banyaknya warna dan bentuk di kota Paris. Ini mungkin pertama kalinya, namun Bastian berani dan kekeuh untuk menikmati pemandangan yang terpampang di depannya.
“Profite de la vue?”
Saat Bastian mengarahkan kameranya ke bawah untuk memotret sebuah lukisan, sebuah sepatu pantofel dengan suara yang sedikit berat membuatnya sigap menoleh. Matanya membulat dengan sedikit bergumam bertanya-tanya apakah ia mengenali orang tersebut.
“C'est un plaisir de vous revoir.”
Wajahnya semakin bingung. Wajahnya familiar namun ia pasih berbahasa Prancis. Bastian hanya tersenyum kikuk lalu sedikit menggerakkan tangannya, mengisyaratkan bahwa ia tak bisa berbahasa Prancis.
“Oh? Saya kira kamu udah lama di Paris. Udah lama gak ketemu, Bastian kan?” Tangannya ter-ulur menunggu balasan Bastian yang dengan cepat menjabat tangan pria itu. Senyumnya manis menatap Bastian dengan sedikit anggukan.
“Kita satu SMA. Kamu udah lupa saya sih pasti, ketua osis yang males-malesan.” Pria itu sedikit tertawa di akhir kalimatnya. Mata bastian total membulat saat dirinya sadar bahwa pria di depannya adalah pemuda yang paling digemari karena kewibawaannya saat SMA.
“Laskar? Laskar Pramayoga kan?” Pria dengan senyum manis itu mengangguk. “benar sekali. Apa kabar kamu?” Askar membuka pembicaraan. Senyum manisnya menampilkan gigi-gigi yang manis begitu pula dengan Bastian yang masih sedikit terkaget dengan adanya teman sekolah yang ia temui.
“Baik. Aku di sini lagi kunjungan. Kamu sendiri Kar?”
“Saya tinggal di sini sudah 3 tahun. Kayaknya kamu suka amati lukisan ya?”
Askar sedikit membungkukkan badannya, memandangi setiap lukisan yang bersender di lukisan lainnya. Bastian masih memegang kamera yang berada di depan dada dengan kedua tangannya.
“Suka. Walaupun aku ga terlalu paham tapi kamu setuju kan kalau aku bilang semua lukisan itu indah, maupun abstrak?” Askar mengangguk. Ia kemudian kembali menegakkan tubuhnya lalu menatap Bastian.
“Setuju.” Ia sedikit berjalan melewati Bastian lalu mengambil setangkai bunga dari toko bunga yang berada tepat di samping pameran lukisan kecil-kecilan tersebut. Memberinya kepada Bastian dengan sedikit anggukan, meyakinkan Bastian bahwa tak apa untuk menerimanya dan tentunya, bunga tersebut gratis.
“Abstrak tak berbentuk namun masih indah dengan beberapa warna kan?” Bastian setuju. Matanya sangat cinta dengan warna, bentuk, dan keindahan.
“Mau saya ajak ke tempat lain? Beberapa blok dari sini ada pameran lukisan sepertinya. Mau ikut?” Bastian mengangguk mengiyakan ajakan teman lamanya itu. “Aku ga pernah ngobrol sama kamu pas SMA, tapi kamu kenal aku?” Bastian melemparkan sebuah pertanyaan.
“Siapa yang ga kenal anak yang menang lomba taraf nasional, Bastian?” benar, Bastian melupakan prestasinya saat SMA.
“Ah, tapi itu bukan apa-apa kan? Cuman satu prestasi kok.” Sedikit tawa di akhir kalimat membuat Askar ikut tertawa. “Satu prestasi, but you did well, Bastian.” Ia menepuk bahu Bastian lalu berbalik berjalan sambil berkata, “Ayo ikut kalau mau liat pameran.”
“Askar,” Panggil Bastian. Askar menoleh dan Bastian mengangkat kameranya memotret Askar. Ia kemudian menurunkan kamera dari wajahnya lalu berkata, “Buat album. Mana tau anak-anak yang laik kangen sama Laskar Pramayoga.”
Kekehan kecil dari Bastian membuat Askar malu-malu menunduk lalu menggeleng. Bastian lalu berjalan mendahukui Askar mengisyaratkan bahwa ia sangat tak sabar untuk melihat pameran yang Askar baru saja katakan.