STAY
Langkah kaki Sagara terlihat lantang dengan sedikit pencahayaan dari lampu motor di sebuah tepi jalan sepi. Ia berhenti di sebuah rumah kecil dan menatap seorang pemuda dan seorang gadis yang tertawa.
Sagara hanya sedikit menoleh menatap beberapa orang di belakangnya yang sudah membelokkan motornya kembali ke rumah tersebut. Nathan, dengan tangannya yang tergantung di depan dada menyipitkan matanya.
“Ngapain?” Sagara tidak menjawab pertanyaan Nathan namun pandangannya beralih pada gadis yang memiringkan kepalanya, menatap Sagara enteng.
“Dara, lo jangan macem-macem sama gue.”
“Lo ngapain di sini bangsat!” Teriakan Nathan tidak juga membuat Sagara mengalihkan pandangannya pada Dara. Justru Dara lah yang menahan Nathan agar tidak bangkit dari duduknya.
“Ngapain? Lo kesini mau ketemu gue ya?” Dara mendekat. Mengalungkan lengan kanannya pada Sagara lalu mengecup pipinya pelan. Ia kemudian berbisik, “Is it about Bastian?” senyum Dara terlihat mengintimidasi.
“Gue bilang gausah sentuh dia, lo ga paham?” Sagara dengan tatapan tajamnya tidak membuat Dara takut. Justru membuat gadis itu makin menggodanya.
“ya gimana? Lo nya gamau dibilangin sih..” “Gue gasuka sama lo.”
“Terus kenapa lo nidurin gue waktu itu!?” “Karena lo yang mulai bangsat! Lo yang masukin obat kan ke minuman gue?”
“ANJING PULANG LO!” teriakan Nathan membuat keduanya menoleh. Dara terlihat sedang mengontrol amarahnya sedangkan Sagara? Meremehkan gadis itu dengan tatapannya.
“Gue gak kenal lo, Dara Adista.” Telunjuknya ia letakkan pada kening gadis di depannya lalu mendorongnya pelan sehingga Dara hanya bisa menutup matanya kesal. Sagara tak punya waktu untuk di buang. Ia tak mencari masalah dengan Nathan, hanya saja sepupunya, Dara sangat menganggunya. Ia berbalik kemudian meninggalkan tempat ini namun sesuatu terjadi.
Dara dengan sigap mengambil sebuah balok lalu memukul bahu Sagara dengan tiba-tiba. Semua orang yang berada di tempat itu tentu kaget akan tindakan Dara, bahkan Nathan pun bangkit dari duduknya. Sagara terdiam, tak ada pergerakan ia masih berdiri mematung.
“LO GAADA BUKTI GUE YANG MASUKIN OBAT KE MINUMAN LO!”
“Bukan gue yang nidurin lo.”
“LO SUKA SAMA GUE LO SENDIRI YANG NAFSU SAMA GUE!!”
“Bukan gue.” Sedikit meregangkan bahunya, ia merasa perih namun melanjutkan langkahnya untuk pergi.
“Bastian, lo bakal nyakitin Bastian kayak lo nyakitin gue kah?” “Dar, don’t even say his name.” Sagara berbalik menatap Dara yang wajahnya mulai memerah karena emosi yang ia rasakan.
“Bastian, I’ll kill him-“
Tak merespon namun Sagara langsung mengambil balok kayu yang Dara gunakan sebelumnya dan mengayunkannya kearah Dara. Satu tendangan membuatnya ambruk, Sagara tau bahwa yang menendangnya adalah Nathan.
“Gue bilang pulang atau lo mati di sini.” Mati di sini bukan pilihan tentunya namun ia tak suka jika nama Bastian di sebut dengan ancaman mengerikan. Sagara kembali bangkit lalu mengayunkan balok kayu ke arah Nathan. Namun ia kalah jumlah. Beberapa anak buah Nathan jelas-jelas memukulnya membabi buta. Ia terhempas, ditendang dan dipukuli secara bersamaan.
“WOY ANJING!”
teriakan dari jauh membuat beberapa pemuda tidak menghentikan aktivitasnya. Sagara benar-benar meringkuk dikerumuni oleh sekelompok pemuda. Matanya mulai samar, bau anyir mulai tercium dan ia sadar bahwa saat ia terbatuk, darah mulai mengalir dari mulutnya. Satu pemuda yang memukulinya ambruk kemudian diikuti dengan lainnya. Sagara masih meringkuk dengan bajunya yang sudah kotor akibat tendangan lawannya.
“Lo berani sama gue??” suara itu, Sagara membuka matanya perlahan. Dengan samar ia melihat Sian yang sedang menarik kerah baju Nathan. Apa yang ia lakukan di sini?
“Adek gue lo bunuh, lo gak gua kasih ampun, paham??” masih samar. Suaranya masih samar namun Sagara masih bisa bangkit. Dara yang menyaksikan perkelahian hanya terdiam menganga menatap Sagara yang sudah babak belur.
“adek lo yang mulai!” intonasi suara Nathan tak kalah tinggi dari Sian. Kemudian,
BUGH!!!!!
Satu pukulan membuat Nathan jatuh tersungkur. Sian menoleh menatap Bastian dengan wajah yang penuh amarah. Kepalan tangannya memerah wajahnya mengeras. Sagara yang melihat itu juga ikut terdiam. Namun, Dara dengan cepat menampar Bastian dengan kuat membuat pria itu hanya tertawa renyah. Mengeraskan rahangnya lalu menatap Dara tajam.
“He’s mine. And I’m not gonna hit you. Not now but someday so be careful, get it?” Bastian berbalik menatap Sagara yang berdiri mematung menatapnya.
Pria itu, wajahnya membiru dan bajunya berantakan. Bastian menampakkan mata kekecewaannya pada Sagara kemudian berlalu meninggalkan pemuda itu. Sian dan Tama yang tadinya ikut menyelamatkan Sagara juga mulai meninggalkan tempat itu. Sagara? Mengejar Bastian yang berlalu berjalan menjauhinya.
“Kak!” Bastian terhenti lalu berbalik. “Lo kira lo ganteng?”
“I am?” Sagara tertawa pelan, merentangkan tangannya lalu mendekat. Ingin memeluk Bastian namun pria itu justru mendorong Sagara dengan kuat.
“Lo bilang ga bakal berantem lagi. Bahkan Sian ngeliat lo dikeroyok.” Senyum di wajah Sagara perlahan memudar.
“No, aku gak berantem kok kak.” “Hukum sebab akibat itu ada.” “you’re right. And I’m doing this not because I’m having fun.”
“Gue tau kok lo mau lindungin gue, I will say thank you for that. Tapi apa lo beneran dengerin gue?” Sagara masih menatap Bastian yang wajahnya kembali memerah.
“I trust you, but please don’t get hurt because of me. Semua ada jalannya, kekerasan bukan salah satunya.”
“This is the last time, ya kak?”
“Lo harus nyembuhin luka lo dulu. Gue pulang sama Tama lo bisa sama Sian.” Bastian sangat sesak sekarang namun ia tidak mungkin menangis di depan Sagara.
“Kak, masih sama gue kan?” Tatapan Sagara layaknya meminta jawaban, matanya sedikit berair entah karena perih dari luka di pipinya atau hatinya. Entah mengapa pertanyaan yang baru saja ia lontarkan menyakitinya.
“Gue butuh waktu. You should go home.” Bastian berbalik berjalan menyusul Tama yang menunggunya sedangkan Sian mengerti bahwa adiknya butuh seseorang sekarang. Sagara menunduk kemudian ikut berbalik berjalan berlawanan arah.