Truth or Dare
Nataliel menatap sosok di depannya yang berjalan menuju ke arah mobil. Keano mengenakan kemeja hitam dengan lengan yang digulung seperempat dari tangannya. Rolex, rambutnya yang ia ikat dan tubuh itu, Nata benar-benar bersama seorang selebriti sekarang. Wanginya semerbak saat Keano memasuki mobil dan Nata, ekspresinya datar, berusaha untuk tetap normal namun hatinya meronta-ronta. Menit sebelumnya ia merasa tidak cukup, sangat bodoh, kesal, sedih, marah. Namun saat Keano bertanya, “Lama ya?” pikiran Nata buyar seketika. Tanpa basa-basi yang panjang, Nata kini menuju ke tempat tujuannya. Sebuah restoran yang tidak terlalu mewah namun cukup bagus dalam pelayanan.
Saat menjemput Gabriel, Keano mengeluarkan senyumnya. Selama perjalanan, ia hanya diam dan bermain dengan handphone nya dan senyumnya nampak saat Gabriel masuk ke dalam mobil. Nata kembali mempertanyakan perasaan Keano yang sebenarnya. Memiliki isu kepercayaan tidaklah mudah. Pertanyaan-pertanyaan kecil dan tidak penting akan sering keluar dalam pikiran. Mereka akan menumpuk dan membuat emosi yang beragam. Sedih, senang, kesal, bahkan gembira. Namun emosi gembira hanya keluar 10% saja dan itu sangat jarang. Terlebih jika pertanyaan tersebut disebabkan oleh seseorang yang bukan siapa-siapa bagi diri sendiri. Tidak, hal itu disebabkan saat kita bukanlah siapa-siapa bagi mereka. Gabriel dan Keano berbincang selama perjalanan. Gabriel sangat rapih dengan kemeja putihnya dam rambut yang sudah ia tata sangat rapih. Rasanya Nata ingin pulang setelah mengantar mereka berdua. Ia hanya memakai kemeja biasa, tanpa mandi sebelumnya dan sekarang kepercayaan dirinya menurun. Jika bukan karena Desmond yang mendesaknya untuk datang, Nataliel tidak akan tinggal untuk menyantap makanan dengan harga yang terbilang mahal itu.
“Duluan aja, aku yang bawain tas kamu.” Nata memarkirkan mobilnya namun Keano menggeleng. Ia berkata bahwa ia, Nata, dan Gabriel harus jalan bersama guna keselamatannya dari media. Gabriel setuju akan hal itu dan dengan pasrah Nata meng-iyakan. Mereka keluar dari mobil dengan Nata yang berjalan mengikut di belakang. Melihat sekitar memastikan tidak ada wartawan atau jurnalis dengan id card aneh mereka. Desmond menyambut mereka saat Keano pertama kali membuka pintu.
“Tenang, hari ini kayaknya sepi dan gue udah reservasi keseluruhan.” Desmond dengan bangga menjelaskan.
“Wow, you’re rich rich.” Keano menimpali. “No I’m not. Ini restoran medium dan ini makan malam spesial,” ucap Desmond kembali. Ia kemudian menoleh ke arah Nata dan menunjuk seseorang yang sedang duduk di sampingnya. “Nat, Aden. Manager gue.”
Aden berdiri dan menampakkan senyum kotaknya dan langsung menjabat tangan Nata. Ia kemudian memperkenalkan diri, “Raden Waris Mahendra. Panggil aja Aden, panggil sayang juga boleh tapi ga boleh panggil baby.”
“Baby?”
“Yes baby?”
Nata tertawa melihat tingkah Aden yang sepertinya sedikit aneh namun menyenangkan.
“Den, udah. Kasian anak baru ntar trauma lo giniin,” ucap Desmond menanggapi candaan Aden . Tentu semuanya adalah candaan untuk mencairkan suasana. Kini Nata sepertinya mulai percaya diri saat melihat Aden hanya mengenakan hoodie berwarna hitam. Sungguh terlihat perbedaan seorang manager dan artis mereka. Tas-tas berada di samping mereka sedangkan sang artis berbincang dengan logam mahal yang melingkar di pergelangan mereka. Aden bergeser ke arah Nata saat semuanya asik mengobrol.
“Dah berapa lama Nat?”
“Kerjanya ya?”
“Menjomblo.” Candaan Aden tidak ada habisnya.
“Itu mah—“ “Ga ga, gausah dijawab. Gue cuman bercanda.” Aden tertawa saat memotong perkataan Nata. “Ya kerja nya. Gue kemarin lihat berita manager sebelumya. Semenjak itu ya?”
Nata mengangguk.
“Tahan?”
“Tahan apanya?” Nata bertanya.
“Holy. Dia agak-agak bossy kan?”
“Engga ah.”
“setuju sih.” Terus, untuk apa Aden bertanya hal itu?
“Nat, lo tau kan Desmond ngajak makan malam cuman buat ngobrol sama Gabriel?” bisik Aden kembali. “Lihat, mereka berdua duduk berhadapan sedangkan Holy jadi obat nyamuk di samping Gabriel. Ada jarak pula. Lo ngeh, kan?”
“iya. Emang gue tau kok kalau soal itu.”
“lo bosen ga Nat?”
“Sedikit.”
Aden menggebrak meja tiba-tiba lalu menatap Desmond lalu berpindah ke arah Gabriel.
“Main truth or dare!” Celetuk Aden. Sangat tiba-tiba namun nampaknya Gabriel merasa tertantang dan benar saja bahwa ia butuh penyegaran. Berbincang dengan Desmond sangat menguras energi nya karena ia harus mengontrol detak jantungnya setiap kali Desmond tertawa dan menampakkan lesung pipinya.
“Tapi peraturan baru. Kita bakal tentuin siapa yang lakuin setelah truth atau dare diberikan!” Aden nampak semangat. Ia melihat kesempatan Gabriel untuk ‘lebih dekat’ dengan Desmond. Ia kemudian mengambil botol dan berkata, “Pertama, Truth. Dimulai dari gue.” Ia meletakkan botol tersebut di atas meja.
“say something from your deepest heart to someone in this room.” Senyum Aden sangat licik dan ia langsung memutar botolnya. Keano nampaknya melirik Nata yang sedang memperhatikan botol yang berputar tersebut. Ia berharap bahwa orang itu adalah Nata. Nata yang akan menyampaikan isi hati sebenarnya kepada Keano. Namun, botol berhenti tepat menunjuk Aden.
“Loh!”
Desmond tertawa, begitupun Gabriel. Tatapan Keano masih belum berpindah sedangkan Nata sepertinya refleks tertawa menertawai Aden yang kebingungan sendiri. Aden berbalik ke arah Nata. “Nata—“ “Next!” Keano mengambil botol tersebut lalu memposisikannya kembali. “Lo berdua baru kenal dan udah ada something from your deepest heart? Skip aja.”
Nata hanya menatap Keano yang nampaknya sangat bersemangat ingin memutar botol tersebut. “Gue gabisa semangatin Nata buat jadi manager yang baik gitu?” tanya Aden. Respon Keano hanya menggeleng. Keano lalu berkata, “Selanjutnya, Truth.” Ia kemudian menatap Desmond. “Sebutin kegagalan terbesar lo yang bikin lo nyesel.”
Keano memutar botol tersebut dan sepertinya Desmond yang harus menjawab pertanyaan itu. Ada sedikit ketegangan di sana terlebih Aden yang sedikit waspada.
“Kegagalan terbesar gue ya?” Desmond tersenyum kemudian menatap Aden. Mengisyaratkan bahwa tidak apa untuk mengatakannya. “Ini bukan kegagalan namun penyesalan terbesar. Milih solo karir dan ninggalin Thridty.”
“Lo gabakal bilang itu kegagalan karena yang ngerasain dampaknya bukan lo, kan?” Keano bertanya.
“You should stop blaming someone. Dan lo tetep sukses kan?” “Why you leaving, Desmond?”
Nata melihat tatapan Keano yang berubah. Suasana ceria berubah menjadi tegang dan ia tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. “Next,” uap Nata sebelum Desmond menjawab pertanyaannya. Ia mengambil botol tersebut kemudian berkata, “Dare.”
Inilah saatnya ia menyatukan Gabriel dan Desmond. Ia harus mencairkan suasana secepat mungkin agar tidak ada ketegangan lagi. “Kiss someone on your right side.” Jika Gabriel yang mendapatkannya, sudah pasti bahwa Gabriel dan Desmond akan melakukannya. Nata memutar botol tersebut dan sepertinya dewi fortuna tidak memihak Desmond. Botol tersebut menunjuk ke arah keano.
“Keano cium mas Gabriel?” Aden menyeletuk menatap Desmond yang sepertinya sudah kesal semenjak pertanyaan Keano. Terlebih Nata. Saat Keano menatapnya, ada kekecewaan di sana. Gabriel merasakan hal yang sama. Sangat enggan namun permainan tetaplah permainan. Ada keheningan beberapa detik namun Keano langsung mendaratkan ciumannya kepada Gabriel. Mengingat bahwa Nata bisa saja mengatakan hal yang sama saat Aden ingin melakukan tantangan nya, Nata memilih untuk diam. Ia bisa saja memberontak namun dalam kasus ini, Keano lah yang melangkah duluan, menarik Gabriel dalam ciumannya. Ia tidak bisa mengalahkan Gabriel, pria yang Keano suka. Desmond dan Nata berada di sepatu yang sama. Permainan kini menjadi permainan yang jelek saat hati yang mulai bermain. Tak terlalu lama namun sepertinya dampak yang diberikan akan membekas.
“next,” ucap Desmond kemudian mengambil botol tersebut. Ia kemudian memilih dare sebagai tantangannya. “Confess your feelings to someone and then kiss them for 5 minutes.”
Botol pun berputar dan ia berhenti tepat di depan Nata. Hal yang ditunggu Keano kini tiba. Perasaan Nata yang sebenarnya. Keano berharap banyak kali ini namun sepertinya Nata sudah kepalang sakit. Ia justru berkata, “Sisa beberapa hari lagi untuk konser amal. Kita harusnya fokus ke sana. Benar kan, Den?” Aden mengangguk sedikit canggung saat suasana mulai menegang.
Setelah tantangan terakhir, mereka berbincang mengenai konser amal dan media yang terlalu berisik. Tidak ada kata-kata dari Nata. Ia hanya menunduk memandangi makanannya memikirkan apa yang harus ia lakukan. Menyatakan perasaan atau hanya berdiam diri. Ia juga tidak ingin kehilangan pekerjaannya begitu saja hanya karena ia suka dengan Keano. Keano adalah idaman namun ia adalah seorang penghibur. Seorang seniman, seorang artis yang akan memunculkan banyak resiko jika memiliki hubungan serius dengannya.
Makan malam berjalan biasa saja dengan perbincangan ringan. Tiba waktu pulang dan Nata masih belum mengeluarkan kalimat apapun selain, “Sini, aku yang bawa.” Ia selalu berada di belakang Keano dan Gabriel, menjaga mereka dan membawa mereka kemana pun mereka ingin pergi. Tidak ada perbincangan di dalam mobil hingga tiba di depan rumah Gabriel.
“Nat, gue mau ambil sesuatu dulu ya?” Nata mengangguk. Ia berkata bahwa ia akan menunggu di dalam mobil saja. Keano turun mengikuti Gabriel masuk ke dalam rumahnya. Entah mengapa mata Nata terasa hangat. Se-tetes air jatuh dari matanya dan terasa sakit di dadanya. Melihat Keano yang selalu tersenyum saat bersama Gabriel membuatnya berfikir ulang mengenai apakah ada yang salah di dirinya? Apakah Nataliel tidak akan penah cukup untuk orang-orang? Apakah Nataliel adalah lelucon dalam hubungan? Percintaan memang bukan lingkungannya dan Nata berani masuk saat Keano memberikan umpan padanya. Entah siapa yang harus disalahkan namun Nataliel menyalahkan dirinya sendiri karena ia menjadi seorang pemikir.
Keano keluar dari sana sembari tersenyum dengan sebuah buket bunga di genggaman nya. Masih berdiri menatap Gabriel yang sepertinya mengatakan sesuatu. Dalam sudut pandang Nata, mereka berdua saling menggoda dan itu terasa sakit baginya. ‘Berhenti jadi manager dan menjadi milikku seutuhnya.’ adalah kebohogan terbesar Keano untuk Nata. Namun di sudut pandang Keano, ia sangat berterima kasih kepada Gabriel dan ia tak sabar untuk melihat senyum Nata saat ia memberikan bunga kepadanya.
“Lo sama Desmond gimana?”
“That’s our last kiss and he will be my forever kiss. Desmond tanggung jawab gue,” ucap Gabriel tersenyum. “Go get him. You can date him, ketua setuju asal gue yang tanggung jawab. Dan gue, bersedia penuh menanggung semuanya buat kebahagiaan lo berdua.”
“Gab, lo ga harusnya lakuin semua ini.”
“Gue baik kok Bel, lo jarang dapetin kebahagiaan yang lo mau. Sebagai manager, kali ini gue bantu lo untuk dapetin kebahagiaan lo, oke?”
Dukungan yang sangat manis dari Gabriel dan selangkah lagi menuju kebahagiaan Keano Abel. Ia berjalan dengan buket yang masih di depan dadanya namun langkahnya sedikit pelan saat ia bisa melihat Nata dengan wajah memerah di dalam mobil. Menunduk dan sedikit terisak. Apa yang ia lakukan sehingga ia membuat Nata menangis? Apakah ciuman itu?
Keano menghampiri Nata dan masuk ke dalam mobil. Bunga itu masih di genggaman nya. Sebelum ia bertanya, Nata terlebih dahulu berkata, “I like you so much and it’s hurt. I’m so sorry, Keano.”
Keano menoleh menatap Nata saat ia terisak sembari berbicara kepadanya. “Sorry for what?”
“Sorry for thinking too much.”
“Maaf itu bukan untuk hal yang begitu, Nat.”
“Can you stop doing that, please?”
“Doing what?”
“Being kind. I hate that.” Nata sangat perasa dan Keano berfikir bahwa semuanya biasa saja.
“Kamu berusaha untuk nenangin aku, balas perasaanku karena itu yang kumau,” ucap Nata sedikit terisak. Ia masih belum berani untuk menatap wajah Keano. “Kamu harusnya sadar kalau perilaku kamu itu buat aku berharap. Aku manager mu dan memang harus berada di bawahmu, tapi kamu selalu jalan di samping ku. Kamu harus sadar kalau semua yang kamu lakuin bikin aku jatuh. Perkataanmu harus kamu pegang. Gimana kalau beneran berhenti jadi manager dan aku bukan punya-mu se-utuhnya?”
Keano masih terdiam. Ia masih tak percaya bahwa apa yang ia lakukan selama ini adalah perilaku alami terhadap Nata tanpa ada niat untuk mendekatinya. Seperti hatinya lah yang bergerak, bukan tubuhnya.
“You hurt me because you said that you love me, but actually you didn’t, Keano.”
“I do love you, Nataliel.”
“You good with your words. That’s why you become a rapper.” Nataliel menghapus air mata yang membekas di pipinya. Ia kemudian mulai menyalakan mesin mobilnya. “Let’s forget it. Besok, jangan pernah jalan di samping-ku. Aku udah seharusnya di belakang-mu. Jangan jatuhkan kedudukanmu karena mau setara sama aku. Orang seperti kita ga bakal berhasil. Dan dengan senang hati, perasaan-ku akan kubuang jauh.”
Perkataan Nata membuat Keano menggenggam kuat bunga yang berada di dadanya. Bunga yang cantik yang akan menjadi milik Nata akan menjadi pajangan di rumahnya sendiri. Sesungguhnya, Keano tidak pandai dalam berkata-kata. Dan pada akhirnya, ia menghargai keputusan Nata untuk tidak berjalan bersampingan. Keduanya sakit dalam pehamaman yang berbeda.