Galileo Jung

“Selamat Sore!”

Seruan Bastian membuat beberapa orang di balik meja resepsionis tersenyum membalas sapaan pemuda manis itu. Sagara berjalan pelan mengekor di belakangnya dengan menampilkan senyum manis. Studio sedikit sepi dengan beberapa pelanggan yang sedang duduk menunggu hasil cetakan fotonya. Bastian segera berjalan ke meja resepsionis untuk mendaftarkan namanya. Walaupun studio foto ini milik sang Ayah, ia tentu saja datang sebagai pelanggan. Bastian kemudian berbalik menatap Sagara yang terlihat memandang sebuah foto berbingkai besar.

“Saga?” panggil Bastian. “Kamu?” Sagara menunjuk bingkai foto tersebut sambil menatap Bastian. Bastian mengangguk. Sagara memandang foto Bastian saat masih balita. Senyum kembali terukir di wajahnya. “Gemes banget.”

Bastian kemudian merapikan bawaannya dan menitipnya di meja resepsionis.

“Kamu mau tunggu di sini bentar? Aku mau cek studio atas apa ada yang bisa dipake atau ngga.” Ia terlihat sedikit sibuk merakit kameranya dan membaca konsep tugasnya.

Sagara hanya mengangguk kemudian duduk di sofa tunggu. “Lama gak?”

“Engga kok. Sekalian mau siapin pakaian kamu.” Bastian menghampiri Sagara lalu mengusak lembut rambut pemuda itu.

Sagara sedikit mendanggak menatap pria manis yang tersenyum di depannya. “Bentar ya, nanti aku balik lagi.” Sedikit cubitan di pipi membuat Saga tersenyum malu. Ia mengangguk merasakan pipinya memanas akibat cubitan gemas Bastian. Ia terus menatap kepergian Bastian lalu setelah itu menyender menatap beberapa foto yang terpajang di dinding studio.

“Sagara?” Suara lembut membuat pemuda itu menoleh menatap siluet dari luar pintu studio. Ia sedikit memicingkan matanya menatap seorang gadis yang berjalan pelan ke depannya.

“Ngapain kamu di sini?” senyum gadis itu terlihat saat ia menepuk lengan Sagara pelan.

“Dara? Gue nunggu temen.”

“Yaampun Saga, gue kira lo mau foto pre-wedding hahaha.” Gadis itu kemudian duduk tepat di samping Sagara tanpa adanya jarak sedikit pun. Saga terlihat tidak nyaman ia kemudian bergeser sedikit membuat gadis itu sadar akan perbuatannya.

“Engga kok, gue nunggu temen.” Saga kembali menyender menatap bingkai foto yang terpampang. Beberapa foto Bastian saat kecil dan saat remaja menjadi model bingkai di studio sang Ayah.

“Lo kayak ga nyaman deh ada gue. Iya?”

Sagara menoleh, ia sedikit tersenyum menatap Dara yang menatapnya sambil menopang dagu. “Tuh lo tau. Bisa sanaan dikit? Sesek.” Namun, Dara tidak peduli. Ia justru meletakkan tangannya di paha Saga membuat pemuda itu menatap tajam kearahnya.

“Tumben? Biasanya lo gabisa tuh gaada gue.” Sedikit tawa membuat Saga menggeser tangan Dara dari pahanya dengan jari telunjuk. Saga acuh, ia kembali bersender dan memejamkan matanya sambil meyilangkan tangan di dadanya.

“Bisa diem? Gue gak nyaman ada lo.” Lagi lagi, Dara tak memperdulikan Saga. Tangannya kembali mengelus paha Saga sambil mendekatkan wajahnya. Hanya beberapa senti saja wajah Sagara dari bibirnya namun pemuda itu langsung menahan badannya. Wajah mereka bertemu sangat dekat saling menatap.

“Last time we had a sex, why you ignoring me?” “Fuck off.” Sagara mendorong Dara sedikit kasar membuat Dara sedikit tertegun dan menatap tajam kearah Saga. Tak peduli, Saga kembali ke posisi semula dan menggeser badannya agak jauh.

“I hate liars. Harusnya lo tau diri juga. That’s ONS.” Dara sedikit kesal dengan perkataan Saga. Ia kembali mendekatkan tubuhnya dan menarik tangan Saga dengan kasar. Pemuda itu tertegun lalu menatap Dara dengan tatapan marah.

“One Night Stand? No, you said you love—“ “Lo percaya kata-kata itu pas nge-sex? Pft idiot.”

“You—“ “Dara, inget. Lo yang ngancem gue malam itu. I don’t have a choice.”

Tak ada waktu untuk Dara membalas perkataan Sagara, Bastian datang dengan beberapa pakaian di tangannya.

“Saga..studio atas kosong. Ikut aku?” Bastian menerka-nerka apa yang terjadi dengan dua orang itu. Dara yang memegang lengan Saga dan Saga yang tadinya menatap Dara dengan tatapan tajam.

“Oke.” Saga menarik lengannya kasar dari genggaman Dara dan berjalan mengikut Bastian.

Bastian sibuk menatap perlengkapan foto seperti lightning dan sebagainya. Ia masih menunggu Saga yang berganti pakaian. Terlintas di pikirannya dengan kejadian yang barusan terjadi. Siapa gadis itu? Mengapa mereka terlihat dekat? Namun kekasihnya terlihat geram. Entah Bastian harusnya kesal karena Saga dekat seorang wanita atau senang karena Saga terlihat marah terhadap gadis itu. Namun pikirannya ia buang jauh-jauh. Ini adalah hari pertama mereka berpacaran namun sepertinya Bastian sudah melangkah jauh dalam hubungan. Ia kembali fokus mempersiapkan kebutuhan foto dan mengecek kameranya.

“Tian, udah.” Bastian menoleh menatap Saga yang terlihat tampan dengan setelan hitam di tubuhnya.

“oh—iya-iya kita mulai…aja.” Bastian sedikit gugup. Hatinya tidak bisa tenang jika Sagara muncul di hadapannya dengan penampilan yang sangat memukau. Sagara kemudian berdiri di depan Bastian yang sudah siap dengan kameranya.

“k-kamu pose apa adanya—aja ya? Aku-aku santai kok.”

“you good baby?” Sagara sedikit tertawa menatap Bastian yang sedikit gugup dengan pipi yang memerah.

“Diem, model harusnya nurut sama fotografer.” Bastian mulai memotret Saga dengan meletakkan kamera di wajahnya. Cahaya flash memenuhi ruangan, Bastian mengecek foto pertama sagara dan dengan cepat ia menghembuskan nafasnya.

Bagaimana tidak? Kekasihnya sekarang benar-benar menjadi seorang model dan itu tidak aman bagi hati Bastian sekarang.

“Boleh liat—“ “Diem!” Saga menghentikan langkahnya manatp Bastian yang wajahnya makin memerah. Bukan karena apanya, Bastian tidak tahan berada di dekat Sagara sekarang, untuk ketenagan hatinya.

“Diem disitu-diem. Kita langsung aja.” Saga kembali mundur lalu melakukan pose biasa. Bastian tak henti-hentinya memotret Sagara dan sesekali tersenyum di balik kameranya.

Sesi pertama selesai. Sagara kemudian mengganti pakaiannya lagi karena suruhan Bastian yang kadang merajuk. Saga menanggapinya dengan tawa karena ia gemas dengan kekasihnya itu. Beberapa sesi sudah terlewati, Bastian melewatinya dengan profesional karena ia tak berhenti salah tingkah saat Sagara mulai menatap kamera dengan intens. Ketampanan Sagara hari ini membuat Bastian merasa beruntung mendapatkan Saga.

Setelah menyelesaikan sesi pemotretan, Bastian langsung mengecek beberapa hasil foto di komputer milik studio. Sagara masih belum mengganti pakainnya walaupun Bastian sudah merajuk beberapa kali agar pemuda itu nyaman dengan pakaian biasa bukannya dengan pakaian yang ia kenakan saat ini. Bastian duduk di depan komputer dengan Sagara yang berada di belakangnya, menopang tubuhnya dengan kedua tangannya memegang sisi meja yang berada di depannya.

“Ini bagus?” Saga menatap monitor dengan Bastian yang duduk di depannya.

“Bagus semua, ganteng banget aku ya?”

“iya iya ganteng. Ini?” Bastian sesekali menoleh menatap wajah Saga yang berada tepat di sampingnya.

“Tapi ini rambut aku agak turun by, coba yang lain.” Ia kembali memilah milah beberapa foto yang akan ia submit untuk tugasnya.

“Ini?” “Nah.”

Wajah mereka bertemu. Sangat dekat sehingga Saga dapat melihat mata bulat sempurna Bastian. Ada jeda di sana dan suasana sedikit hangat dengan alunan music studio yang menggema. Mata mereka bertemu dan Sagara perlahan mendekatkan wajahnya. Ia sedikit memiringkan wajahnya lalu memejamkan matanya pelan, menyentuh bibir Bastian dengan bibirnya lembut dengan kedua tangannya yang masih memegang sisi meja di samping tubuh Bastian.

Agak lama ia mengecup bibir Bastian, pemuda itu kembali menarik wajahnya dan menatap Bastian yang masih menampakkan mata bulatnya. Saga tersenyum kemudian kembali menatap monitor yang menampakkan dirinya. Bastian? Ia hanya terdiam dengan pipi yang memerah akibat kecupan hangat Sagara.

Dengan pelan, Hoseok membuka pintu toilet siswa dan mengintip beberapa bilik di sana. Matanya tertuju pada sebuah tas dengan name tag ‘Kim Namjoon’. Suara langkah kakinya makin keras saat ia sedikit berlari dan ia terhenti saat seseorang keluar dari bilik dan menghadangnya. Hoseok sedikit mendanggak, Namjoon ternyata lebih tinggi darinya.

“Lo!” tanganya dengan sigap meraba wajah Namjoon yang sedikit memerah dan lebam. “Gue harus redain lebamnya sebelum photoshoot. Maaf.” Namjoon tersenyum meraih tangan Hoseok lalu memindahkannya dari wajahnya.

Tak berbasa-basi, Hoseok mengambil tas Namjoon dan menariknya, “ayo, kita ke kantor sekarang. Gue ada-“ tangannya kembali ditarik oleh Namjoon. Hoseok hanya menatap pria itu dengan bingung. Tatapan Namjoon tertuju padanya dan membuat hatinya sedikit berdegup. Suasana apa ini? tak ada langkah kaki dari luar sana karena memang, penerimaan sudah selesai. Hanya ada beberapa guru dan petugas sekolah yang bekerja.

“Thank you. Thank you.” Namjoon mengulang perkatannya. Ditatapnya pria di depannya dengan hangat, wajahnya sedikit mendekat menatap bibir pria itu. Hoseok hanya terdiam meremas kepalan tangannya sendiri. Ya, Namjoon akan menciumnya. Bibir mereka tersentuh dan Hoseok melihat jelas bagaimana Namjoon menatap matanya perlahan. Seluruh tubuh menjadi gerah bagi Hoseok.

Have a kiss with a school boy is a new thing for him.

Perlahan ia memejamkan matanya dan bibirnya bergerak ,melumat pelan bibir Namjoon. Keduanya jatuh kedalam tautan yang Namjoon berikan. Reflex, Namjoon meraih pinggang Hoseok dan memeluknya mendekat. Ciuman mereka semakin dalam, genggaman Hoseok mulai longgar mengakibatkan tas terjatuh di lantai dengan lantang.

Hoseok meraih lengan baju Namjoon dan meremasnya pelan, merasakan bibir pria di depannya makin memabukkan membuatnya sedikit pening. Namjoon melepaskan ciumannya sepihak, menatap lekat pada netra milik Hoseok yang sesekali terkejap. Dapat ia lihat wajah Hoseok yang menimbulkan warna merah muda di pipinya yang menggemaskan.

“Oh? Did I startle you?” gelengan cepat dari Hoseok membuat Namjoon sedikit tertawa. Ia kembali mengelus pipi Hoseok dengan ibu jarinya lalu mengecup bibirnya sekali lagi. Hoseok benar-benar mati gaya dibuatnya. Namjoon berbungkuk mengambil tasnya lalu menarik Hoseok keluar dari ruangan.

“Wait-LO CIUM GUE?” “First time?” Namjoon dengan santainya berjalan dengan tas yang bergelantungan di bahu kanannya.

“Jangan keras-keras. Ntar diketawain bapak yang lagi nyapu kelas tuh.” Namjoon terkekeh saat ia menoleh melihat Hoseok yang tersenyum kikuk kepada petugas kebersihan sekolah.

“But-“ “Why? Because I want to.” Sialan, pikir Hoseok. Ia menatap Namjoon dengan wajah yang kesal lalu berjalan mendahuluinya.

“This is my first kiss. And I want to so, its okay that I choose you, right Jung Hoseok?”

“No—Ayo cepet gue gabisa lama-lama di luar. Masih banyak kerjaan di kantor.” Hoseok berjalan dengan sedikit gelisah. Ia mungkin saja salah tingkah. Sedangkan Namjoon hanya menatap Hoseok dengan senyum di wajahnya.

Seperti saat pertama, Namjoon jatuh kedua kalinya.

Hoseok tipe anak pembangkang pada ayah tirinya.. Ia sekarang kini berada di sekolah Namjoon setelah meninggalkan meeting begitu saja.

“Ngapain?” Yoongi berjalan di belakangnya dengan mata menelusuri tiap sudut sekolah. Siswa dan para orang tua tertuju pada mereka. Bagaimana tidak? Pakaian mereka terlihat mahal ditambah dengan wangi yang sangat khas bak orang kaya. Seperti super model yang memasuki sekolah. Mungkin mereka bertanya, mengapa ada dua orang berpenampilan mahal di sekolah? Namun Hoseok tak menghiraukan, ia tetap berjalan masuk dengan suara ketukan sepatunya yang menggema di lorong ruangan.

Semua siswi berteriak menatap Hoseok dan Yoongi. Mereka seperti tergila-gila akan ketampanan mereka.

“yoon, lo gapapa kok pulang duluan.” Hoseok mengecek arloji nya lalu melihat sekitar mencari keberadaan Namjoon. “gue pulang 30 menit lagi.”

“Lo ngapain sih di sini?” “Mau ngobrol sama calon model gue. Lo pulang ya? Gue gapapa kok.”

“No. its totally dangerous for you here.”

“Its okay, gausah khawatir.” Satu senyuman Hoseok membuat Yoongi menghela nafas kasar kemudia berbalik pergi meninggalkan Hoseok. Sementara itu, dia kebingungan dengan kelas Namjoon. Anak itu bahkan tidak memberitahu Hoseok kelas ia berada.

“Kelas A-5” suara seorang gadis membuat Hoseok berbalik. Hoseok tersenyum kikuk saat menatap gadis itu sedikit gemetar dan senyum di wajahnya terlihat aneh.

“Oh makasih—“ “Namjoon bilang kalau ada cowo ganteng, suruh ke kelas A-5, itu pasti—“ “oke thanks.” Hoseok langsung melangkahkan kakinya meninggalkan gadis itu yang terlihat seperti meleleh. Hoseok memang se menawan itu hari ini.

Beberapa orang tua siswa berbincang dan Hoseok dengan pelan masuk ke dalam kelas. Ia melihat sebuah bangku kosong dengan nama ‘Kim Nam Joon’ di sana. Ia langsung duduk dan kembali mengecek handphone nya. Kemana anak ini? seharusnya ia sedang duduk bersama Hoseok sekarang namun tidak ada tanda-tanda keberadaannya.

Beberapa selang waktu, penerimaan raport di mulai. Hoseok menatap sekitar, semua siswa dan orang tua seperti bercengkrama dan sedikit mengobrol. Sesekali tertawa membuat suasana kelas sedikit riuh. Ia berfikir bahwa jika Namjoon memiliki hubungan tak baik dengan sang Ayah, ia pasti sudah melewati hal menyenangkan ini sendirian. Dan Hoseok merasakannya sekarang. Ia gugup, sesekali memainkan gelang berwarna kuning pemberian Namjoon tempo hari. Seperti, ia membutuhkan Namjoon sekarang.

Nama Namjoon terdengar, Hoseok bangkit dari duduknya dan langsung menuju meja guru. Semua perhatian tertuju padanya.

“Oh? Anda pasti bukan orang tua Namu hahaha.” Namu? Namu berarti ‘pohon’. Hoseok berfikir mengapa gurunya memanggil Namjoon dengan sebutan ‘Namu’?

Hoseok sedikit tertawa. “Saya—wali dia.” Sebuah buku berwarna biru tampak di hadapannya.

“Namjoon memiliki nilai tinggi namun nilai perilakunya sangat kurang. Untuk masuk ke perguruan tinggi biasanya nilai perilaku itu berpengaruh.” Hoseok membuka raport Namjoon melihat betapa bagusnya nilai anak itu. Ia sedikit terkesima.

“Tapi dia bisa kuliah kan?” Hoseok bertanya.

“Tentu, tapi untuk universitas terbaik, saya rasa dia perlu kerja keras lagi. pelepasan seminggu lagi, dan saya harap dia bisa masuk ke univesitas pilihannya.” Hoseok sedikit terdiam mengingat Namjoon sangat ingin melanjutkan studinya.

Tanpa basa-basi saat penerimaan selesai, Hoseok berjalan keluar kelas. Matanya cemas Namjoon belum juga membalas pesannya. Ia pikir, Namjoon total marah dengannya. Wajahnya tertegun saat pesan dari Namjoon baru saja masuk.

Tak cukup 5 menit setelah menerima pesan dari Sagara, Bastian langsung menoleh tatkala suara motor yang begitu nyaring mulai mendekat kemudian berhenti tepat di depannya. Sagara melepaskan helmnya dan melemparkan senyum yang paling besar namun tidak membuat pemuda di hadapannya itu bereaksi.

“Kak, mau pulang?”

Tak ada jawaban, Bastian memberi Sagara voucher dengan wajah yang sedikit murung. Saga hanya menunduk mengikuti arah wajah Bastian, menatapnya seksama dengan senyum yang masih terpampang di wajahnya.

“Sagara patut dihukum soalnya bikin kak Tian nunggu.” Ia kemudian memberikan Bastian sebuah helm lalu menepuk jok belakangnya.

“Tapi saya menangin motor sama helm nih, bangga gak?” Bastian lagi lagi hanya menatap pemuda itu. Pikirnya, ia tak berhak marah jikalau Saga masih suka akan balapan. Namun, banyak pertanyaan yang ingin sekali ia tanyakan kepada Saga.

Apakah Saga sungguh sungguh dengan janjinya? Apakah Saga benar- benar menjadikannya prioritas? Dan apakah Bastian benar-benar cemburu akan postingan Instagram Saga yang menampilkan emoji hati berwarna merah? Bastian lebih memilih diam karena untuk sekarang, dia bukan siapa-siapa bagi Saga.

Bastian naik keatas motor dan langsung menutup kaca helm nya agak kasar. Saga menoleh, mengetuk sekali kaca helm Bastian dengan jari telunjuk lalu kembali tersenyum.

“Yaudah kalau kakak gamau ngomong, saya yang ngomong kalau gitu.”

Dengan melajukan motornya di kecepatan rata-rata, Saga terus menerus menatap spionnya yang langsung menampakkan wajah Bastian, walaupun masih tertutup kaca. Namun, Bastian dibalik itu terus menerus menatap wajah Saga yang masih tersenyum. Saat Sagara tak menatapnya, ia akan selalu menatap pemuda itu.

Wajah Saga terlihat manis dan tenang dibarengi dengan suasana malam yang sepi. Pukul 12 malam menjadi waktu favorit Bastian kali ini karena ketenangan yang ia dapat.

“kak, maaf lama? Soalnya harus menangin motor ini dulu.” Bastian sedikit mengangguk merespon pernyataan Sagara.

“Chat nya di read karena udah otw ke kampus tadi.”

“oh iya, saya beliin kakak bakpau, kalau kakak suka sih.”

“kak, saya gak lebam lagi malam ini. Malam kemarin adalah malam terakhir saya lebam hahaha” Di balik kaca helm, pipi Bastian sedikit terangkat saat mendengar tawa Sagara. Dia benar-benar jatuh hati kali ini namun ia masih takut untuk mengakuinya.

Saat tiba, Bastian memberi Saga senyuman sambil memberikan helmnya. Saga menyender satu tangan bertumpu pada motor membalas senyuman Bastian.

“Ini terakhir balapan. Janji.” Bastian mengangguk dengan sedikit tawa “Good boy.” “Am I really a good boy to you?” “yup!” Saga terlihat salah tingkah, menunduk tertawa lalu kembali menatap Bastian yang masih tersenyum di depannya.

“Sampai ketemu di bazar? I don’t think that I can met you after this?”

“Huh? Kenapa?”

“I can’t handle your sweet smile, kak.” Lagi, keduanya salah tingkah namun terlihat tingkah Saga makin tak karuan saat kedua helmnya terjatuh.

“eh?” “Gapapa gapapa, saya pamit ya kak? Nanti ketemu lagi.”

“hati-hati saga.” “Selamat malam, Kak Tian.”

Jungkook kini berjalan mengikuti pemuda di depannya sambil sesekali matanya menelusuri toko-toko yang berada di Mall. Ini adalah hal yang sering dilakukan Jungkook namun ia sangat suka melihat benda atau hal yang menarik matanya. Dua atau tiga kali melihatnya, Jungkook tetap tertarik.

Saat ia dan Yoongi jalan bersama, Yoongi tak lelah untuk mengikuti Jungkook masuk kedalam toko hanya untuk melihat-lihat lalu kemudian keluar tanpa membeli apapun.

Namun Yoongi sering kali mencuri kesempatan untuk membeli sesuatu jikalau Jungkook menyeretnya kedalam toko mainan. Yoongi sering memberikan Jungkook hadiah sebuah figure superhero kesukaannya secara mendadak saat mereka tiba saatnya makan malam atau sedang bersantai. Berbeda dengan Yoongi, pemuda di depannya lebih banyak berbicara dan Jungkook memilih untuk mengikuti Yeonjun kemana pun ia pergi.

“Jadi kak, toko itu ada di lantai 3, kakak belum pernah kesana?” Yeonjun sesekali menoleh menatap Jungkook saat ia berbicara atau menanyakan sesuatu, memastikan bahwa ia mendengarkannya.

“Kalau belum, ini baru pertama kali dong? Sekarang kita ngedate?” Yeonjun berbalik berjalan mundur sambil melihat Jungkook yang sedikit menggeleng

. “Kita kan..cuman mau beli makanan ya?” Sang lawan bicara hanya tertawa kecil lalu kembali berjalan menaiki eskalator. Yeonjun berbalik lagi menatap Jungkook yang berada satu anak tangga di bawahnya.

“Kenapa?” sedikit aneh saat Yeonjun menatapnya dengan senyuman tipis. Dia tidak mirip dengan sang kakak.

Yoongi tak pernah berbalik namun ia akan berada di samping Jungkook atau di belakangnya saat menaiki eskalator. Yoongi juga tidak memiliki senyum seperti itu, bagi Jungkook, senyum Yoongi adalah yang termanis.

“Kak, kok lo belum punya pacar? How can? You’re cute, caring person, soft, kenapa gaada yang berani deketin kakak?” Itu karena Yoongi.

Jungkook mengalihkan pandagannya enggan menjawab. Hari ini ia hanya berencana membeli sebuah roti untuk Yoongi kemudian pulang. Ia tentu tidak lupa akan kebaikan Yeojun sebagai adik. Sorot mata Yeojun memberi sinyal bahwa pemuda itu benar-benar jatuh hati dengan Jungkook dengan caranya yang tak berhenti menatap Jungkook sampai tangga terakhir eskalator.

“Kak, pertanyaa gue belum dijawab loh?” Yeonjun kini berjalan sejajar dengan Jungkook, menatap wajah Jungkook yang masih terdiam karena enggan mengeluarkan jawaban seperti,

“gaada yang berani soalnya punya kak Yoongi.”

Namun ia malah menjawab Yeonjun dengan, “Itu bukan toko kuenya?” sambil menunjuk sebuah toko dengan logo yang sama dengan paket makanannya kemarin. Jungkook kemudian masuk mengambil beberapa roti dan memesan sebuah kopi untuk Yoongi. Kemudian ia menoleh menatap Yeonjun yang sedang sibuk memilih beberapa roti dengan seksama. Sambil meunggu, Jungkook keluar dari toko kemudian kembali melihat sekitar. Hampir 24 jam ia tak pernah berbicara dengan Yoongi namun ia sudah rindu. Tapi ia pikir, rindunya akan terbalas jika sang kekasih telah menerima ucapan permintaan maafnya dan ia akan lega karena Jungkook pikir menjadi yang pertama meminta maaf bukanlah hal yang salah.

Senyumnya merekah, pipi gembulnya memerah saat melihat Yoongi berada di lantai bawah di sebuah toko perhiasan. Apakah ia akan membeli hadiah untuk Jungkook? Mungkin itu isi pikiran pemuda itu sekarang. Ia mengikuti gerak gerik Yoongi namun senyumnya memudar saat melihat Sora sedang menunjukkan sebuah cincin kepada Yoongi. Bukan karena Sora menemani Yoongi, namun bagaimana cara Yoongi memasangkan cincin ke jari manis Sora membuat Jungkook sangat kesal. Ia terdiam mematung berusaha mengatur pikirannya agar tak karuan, namun ia tak bisa. Yoongi yang sadar dirinya dipantau kini mendanggak keatas menatap Jungkook. Namun Jungkook bergegas menarik Yeonjun dengan dua kantong plastic di tangannya dan berjalan mengikuti Jungkook.

“kak? Lo—nangis?”