Galileo Jung

Mata Bastian mengikuti gerak-gerik Sian saat pemuda itu mulai masuk dengan beberapa kantong belanja di kedua tangannya. Kemudian matanya berpindah ke arah Sagara yang menyusul masuk. Sagara sadar jika Tama dan Bastian sedang bersantai di sofa tamu namun yang ia ketahui bahwa Bastian sedang terlelap. Tidak. Matanya justru terbuka sedikit, menatap Sagara dalam diam.

Entah ingin menyapa atau tersenyum saja rasanya Bastian tidak tau. Matanya masih terkunci pada sosok Sagara yang bercanda gurau dengan Sian sedangkan dirinya masih dengan posisi tidur menyamping di sofa dengan raut wajah datar. Apakah dia orang yang kemarin ingin ia lepaskan? Rasanya sangat aneh bahwa Sagara tidak melakukan hal-hal seperti mengganggunya sekarang.

“Sian! Kok lo lama banget?” Tama mulai menyapa. Bastian sedikit menutup matanya saat Tama mulai melemparkan stik PS ke sofa.Sian dan Sagara menghampiri mereka kemudian Bastian mulai menegakkan tubuhnya terbangun dan mengusap wajahnya seolah-oalh ia baru saja terbangun.

“Belanja titipan bunda. Gimana? Enak tidurnya Bas?” Sian kemudian duduk setelah menjawab pertanyaan Tama dan langsung merangkul Bastian yang kemudian membuat muka dari Sagara.

Rasa enggan untuk menatap sangat besar, apalagi Sagara tidak mengatakan sepatah kata apapun untuk menyapa Bastian. Rasanya ingin pulang namun ia merasa tidak enak dengan Sian dan Tama. Bastian hanya menyender di rangkulan Sian tanpa menatap Sagara yang berdiri di samping Sian saat itu.

“Oh, Bunda masak apa? Boleh bantu ga?” Tama memulai obrolan. Tatapannya saling bertukar oleh Sian seakan ingin memberi ruang terhadap Bastian dan Sagara. Keduanya langsung meninggalkan Bastian yang tubuhnya berganti menyender di sofa.

Bastian memberanikan diri, ia mendanggak menatap Sagara yang sedari tadi menatapnya diam di dekat sofa.

“Kenapa?”

Sagara hanya menggeleng dengan raut wajah datar kemudian duduk di sofa sebelah. Canggung, tidak ada pembicaraan selama beberapa menit. Bastian terpaku dengan animasi yang berada di dalam layar kaca sedangkan Sagara seperti menunggu Bastian mengatakan sesuatu. Ia menatap Bastian tanpa jeda namun saat Bastian kembali menatapnya, Sagara membuang muka.

“Kalau ada yang mau diomongin, bilang aja. Lagi bagus moodnya kok,” ucap Bastian kembali mengarahkan pandangannya ke layar kaca.

“Kata Sian, kakak lagi kesulitan ya?”

Bastian menatapnya dengan malas. Jika hal pekerjaan yang Sagara ingin bahas, ia total tidak suka. Energinya kembali menurun jika membahas suatu kegagalannya.

“Tau apa aja emangnya dari Sian?” Bastian berusaha mengontrol suasana hatinya. Satu pertanyaan tidak akan bisa meruntuhkan pertahanannya.

“Yaudah gausah dibahas kalau emang kakak gamau.”

“Emang gue bilang gamau bahas?” Salah. Bastian tidak berfikir sebelum berbicara. Dia seperti terperangkap dalam jebakan Sagara.

“Mau bahas?”

“Ya gue tanya emang tau apa aja, kalau tau sampai situ aja yaudah gue ga perlu ceritain apa apa lagi kan?” nada Bastian sangat ketus namun pelan, itu adalah perlindungan dirinya agar ia tidak goyah dalam membutuhkan perhatian Sagara.

“Dapet perlakuan yang ga sopan, dipaksa minum. That’s bad.” Sagara masih tidak menunjukkan ekspresinya. Ia berusaha keras untuk tidak menyinggung perasaan mantan kekasihnya itu walaupun di lubuk hatinya yang paling dalam ia tidak segan untuk mendatangi pria yang berani melakukan hal tersebut.

“Kalau cuman tau masalah itu, yaudah sampai itu aja,” ucap Bastian kemudian kemabli berusaha mem-fokuskan dirinya pada animasi tersebut. Sagara sedikit menghembuskan nafasnya.

Ia sangat khawatir terhadap Bastian namun pemuda itu seperti menyembunyikan hal yang bisa membuat Sagara prihatin. Sejujurnya, Sagara tidak menarik ulur hubungannya selama ini. Ia masih berusaha mencari jalan keluar dari hati dan pikirannya. Ia juga hanya ingin Bastian mengambil langkahnya sendiri tanpa adanya campur tangan Sagara. Bastian sudah cukup dewasa dalam menentukan pilihan hubungan dan Sagara tidak berhak selalu mengikuti egonya. Namun satu hal yang ia ingin pastikan sebelum melepas Bastian secara penuh, kesungguhan dirinya sendiri.

“Kak Tian, boleh ngobrol bentar di luar?” ajak Sagara.

Mau tidak mau, Bastian mengikuti. Secara langsung, ia siap jika Sagara beanr-benar melepaskannya dan Bastian siap melepas.

“Boleh.”

Bastian mengikuti Sagara ke halaman depan. Duduk di sebuah kursi halaman dan kali ini, Sagara lah yang enggan untuk menatap Bastian.

“Saga-“

“Kak Tian—“

Keduanya saling bersautan namun Bastian mempersilahkan Sagara untuk bebricara telebih dahulu.

“Kak Tian, bukan mau gue buat kakak bingung soal perasaan kalau emang hal itu yang jadi salah satu pengganggu pikiran,” ucap Sagara. Bastian sedikit tidak tenang, ia belum siap mendengar kelanjutan ucapan Sagara.

“Kita ga ngobrol berapa bulan, Saga. Lo tau rasanya kah?” nadanya masih pelan, masih berusaha mengontrol perasaan. Bastian menekankan pada dirinya agar tidak meledak dan membuat keadaan jadi makin sulit.

“Ada kesalah pahaman di sini kak. That’s why we need to talk, okay?” Sagara berusaha berfikir dengan kepala dingin namun sayangnya, Bastian justru mulai kalut dengan pikirannya sendiri. Entah dari kapan Bastian mulai meremas tangannya sendiri seperti takut akan sesuatu, Sagara sadar akan hal itu. Ia berusaha sebisa mungkin agar keadaan tidak menjadi buruk.

“Sejak di Paris, dan setelah itu. Gue ngerasa udah berubah. People changed ofcourse, but Sagara? You make me feel like that I’m just a stranger to you.”

Sagara menoleh, berusaha menyerap apa yang dikatakan Bastian. Saat mengantar Bastian ke bandara, dia berusaha untuk tidak menangis dan memeluknya. Sagara sangat berusaha dan Bastian tidak tau akan hal itu. Keduanya sama-sama menyembunyikan kesedihan. Sagara merasa bersalah saat ia berkata bahwa ia lelah terhadap sikap Bastian yang suka seenaknya. Bastian yang tidak pernah mendengar kata Sagara, demi kebaikan Sagara sendiri. Ia terus memandangi Bastian yang pandangannya tidak pernah berpindah dari apa yang berada di depannya.

“Lo nganterin gue ke bandara, gaada obrolan selama sebulan. Then you came, nanyain kabar dan bilang gue manis karena gue talking nonsense. Tell me Sagara, pas gue mabok lo kan yang suruh Sian isi botol gue?”

“Kak, gue gapernah nganggep lo sebagai stranger,” ucap Sagara menimpali. Namun Bastian langsung mengeluarkan kalimat lainnya.

“Then why?? Why Sagara? Lo bikin gue bingung dengan kata-kata manis lo dan ngasih gue harapan kemudian bikin gue kayak gini? I’m not gonna act like this if I’m not your ex but ironically, I am.” Bastian sedikit merendahkan nada suaranya di akhir kalimat.

Berusaha untuk tidak melepaskan emosi apapun di hadapan Sagara, ia tidak boleh menangis kesal.

“Terus kalau gitu, kenapa gak nyerah aja sekalian, kak Tian?” Sagara mulai menekankan kata-katanya. Ia harus bisa meluruskan masalah ini. “Kalau kak Tian emang gabisa, then go. Gampang kan? I’ll let you go, you let me go. Jangan cuman mau didengar, make it easy then,” ucap Sagara sedikit meninggikan nada suaranya membuat Bastian sedikit takut namun ia berusaha keras untuk bisa meluruskan masalah ini dengan Sagara.

“Then talk. Ngomong, lo lakuin semuanya yang lo mau tanpa ngomong. Bertindak seenaknya. Gue mantan lo, Saga. Perhatian sekecil apapun bakal bisa bikin gue berharap tapi lo malah kayak gini,” ucap Bastian sedikit emosi.

Ia berbalik menatap Sagara kemudian berkata, “You said that make it easy, I’ll let you go and you do the same. But why curious about my problems? Kenapa lo nanya? Tarik ulur lagi, Sagara?”

“Karena lo cuman mau semuanya terjadi berdasarkan kemauan lo! You never listen to me, Kak Tian. Never.”

“Karena lo bohong atas banyak hal—“

“Then you didn’t trust me the whole time? Apa arti bertahun-tahun pacaran? Is it a lie?”

“gue ga bilang gue gak percaya—“

“Konsekuensi emang kalau lo ga percaya sama gue kak, gue terima. Tapi jadiin alasan itu buat hal kayak gini? You’re sick.”

Lagi, Sagara dengan umpatan kotornya ke Bastian. Entah hal apa yang akan menghentikan Sagara akan hal itu. Umpatan kotornya seperti tidak berdampak lagi namun entah kalimat apa yang membuat Bastian sedikit merasakan sesak di dada. Kalimat bahwa hubungannya adalah kebohongan berhasil membuatnya sedikit kesal dan sedih. Bastian tersenyum miring melihat tingkah Sagara saat ini, dengan pupil mata yang bergetar Bastian tau bahwa Sagara bersungguh-sungguh atas ucapannya.

“Gue percaya lo, selama ini. Yang gue tegaskan cuman perasaan lo, Sagara. Lo bohong soal perasaan sedih, lelah, semua yang ganggu lo secara personal. Kalau emang semuanya kayak gini, you’re the one who didn’t trust me.”

Tidak, pertahanan Bastian belum runtuh. Ia masih berusaha menenangkan hatinya.

“Lo yang ga percaya gue buat pegang hati lo sepenuh itu, ga percaya bahwa gue bisa lindungin lo. Ga percaya semua apa yang harus gue lakuin ke lo. Sampai akhirnya I become a moron who ask you about this fucking relationship, ask you to coming back, always ask but got nothing,” ucap Bastian dengan matanya yang mulai berkaca-kaca. Kini ia enggan menatap pemuda yang sedari tadi diam di depannya.

“Kak Tian, kalau emang gitu, I will let you go.”

Atas ucapan Sagara, Bastian terdiam. Ia masih menunduk. Berusaha tidak menangis namun gagal, air matanya turun begitu saja. Ia seakan tidak mempunyai tenaga untuk emngangkat wajahnya dan menatap Sagara.

Sedangkan Sagara tidak bisa berbuat apa-apa selain memandangi Bastian yang masih menunduk. Rasa ingin memeluk namun bukan saatnya. Tidak ada pelukan untuk Bastian, mungkin untuk selamanya. Ia tidak ingin berpisah namun ia kini memilih pikirannya, melepaskan Bastian dari ‘pelukannya’ agar ia bisa bebas. Rasanya perih, Sagara tau rasanya namun benar yang dikatakan Bastian bahwa Sagara tidak ingin menunjukkan kesedihannya.

“There’s no us. And let’s not care about each other.”

Kalimat terakhir Bastian saat ia meninggalkan Sagara dan berlalu pergi begitu saja keluar dari rumah. Sagara tidak bisa mengejar, tidak ada hak untuk mengejar. Apa yang ingin ia lakukan sudah selesai, Bastian memilih jalannya sendiri.

Yoongi menatap Namjoon tak percaya saat dirinya menjelaskan bahwa Jimin sangat membenci Hoseok. Mati atau tidak Jimin tak peduli. Kepalan tangan Yoongi terlihat di atas kemudi.

“You can hit me but after we save Hoseok, okay? You can even kill me, hyung.” Di depan mereka terlihat gedung yang minim pencahayaan.

Sepengetahuan namjoon, untuk masalah pridai, Jimin tidak terlalu melibatkan anak buahnya. Namjoon berinisiatif untuk berbicara dengan Jimin agar ia dapat menyelamatkan Hoseok.

“What are you doing after this?” Yoongi tak yakin, ia berusaha berpikir tenang.

“berhenti jadi model dan menikahi Jimin itu rencana paling mana yang gue bisa kasih.”

“Hoseok?”

“I don’t know..i hope he can understand.”

Yoongi menghela nafasnya. “Gue nunggu di sini. Sesuai perjanjian, gue bakalan nelpon polisi kalau 30 menit lo dan Hoseok belum keluar.”

“don’t, Jimin ga bakal segan nembak Hoseok.”

“Alright..” Yoongi sedikit mengangguk. “Make sure you safe, Hoseok too.” Sedikit jeda di perkataannya. “But don’t hurt Jimin. Kalau lo gamau berurusan dengan polisi, please don’t hurt him.” Yoongi sedikit tidak yakin namun ia juga tak ingin Jimin terluka.

“Okay got it.”

Namjoon keluar dari mobil kemudian berjalan menuju tempat yang Jimin beritahu. Sedikit penerangan dan terlihat imin yang sedang berdiri tersenyum menatapnya.

“Oh? Kamu dateng?”

“Let Hoseok go.”

“you fucked him.”

“What do you want?”

“Kill him?” Namjoon menghela nafasnya. Ia tidak bisa melihat keberadaan Hoseok.

“Jimin, gue lakuin apa mau lo tapi please let him go.”

“Dan lo mau lakuin apapun demi Hoseok? That’s love. Dan gue gamau lo jatuh cinta sama Hoseok, Namjoon.” Jimin tertawa kecil, meremehkan Namjoon yang berada di depannya. Jentikan jarinya memperlihatkan dua orang pria yang menyeret Hoseok. Baju yang sedikit sobek dan rambut berantakan menjadi triger untuk Namjoon. Ia ingin berlari namun langkahnya terhenti saat Jimin menodongkan pistol ke arahnya.

“Gue ga takut ngebunuh lo juga. Ah no, both of you.” Hoseok terjatuh saat kedua pria itu melepaskan pegangannya. Pandangan Namjoon bergetar menatap Hoseok yang tak berdaya tergeletak di tanah. Terbatuk dan tangannya sedikit mencari pegangan. “Gue tau, sunshine, lo suka Hoseok dari dulu kan?” senyum Jimin memudar.

“But you know who saved him first? Me.”

“you?”

“gue juga dipukulin kalau lo lupa. Pas itu lo cuman acuhin gue padahal gue mau perhatian lo. Tapi lo malah cerita soal anak yang dibully, luka luka, lebam yang lo bawa ke rumah sakit.” Namjoon tak memindahkan pandangannya dari Hoseok.

“Gue juga lebam, Namjoon. Dan Hoseok? Waktu itu lo ga kenal Hoseok tapi kenapa lo justru perhatian sama dia?” Namjoon dapat melihat air mata Jimin sedikit menetes. Ia kemudian menatap kedua pria asing itu dan benar saja, Jimin memerintahkan mereka agar meninggalkan Jimin, Namjoon dan Hoseok. Tipikal Jimin, Namjoon tau bahwa ia tak mau orang lain melihatnya lemah.

“gue gatau soal itu, kenapa lo ga kasih tau gue?”

“Karena apapun yang gue lakuin, gaada yang bisa narik perhatian lo. My daily life, pas gue seneng, pas gue sedih, percuma kalau gue cerita, toh lo juga gabakal intrested.”

“Jimin, I’ll dedicate my life for you, if only—“

“what a bullshit.” Jimin kemudian menembakkan pistol ke arah Namjoon. Matanya membesar tangannya bergetar hebat. Pistol itu terjatuh tepat di depannya. Hoseok yang mendengar tembakan itu sedikit mengangkat wajahnya. Sangat buram, Jimin melangkah maju dengan langkah pelan menghampiri Namjoon.

“Yoongi?” Jimin berbisik

“Hyung? You okay?” sebuah luka tembak mengenai Yoongi saat ia berlari mendorong Namjoon tepat setelah Jimin menarik pelatuknya. Namjoon berusaha menghentikan pendarahannya.

“Jimin, let hoseok go okay?” Yoongi menahan perih yang luar biasa di tubuhnya. “You trust me right? Trust me and I trust you. I’m asking you not because of Hoseok, its because of you.”

“Lo harusnya ga di sini!!”

“You too, kita ada date makanya gue dateng.” Senyum Yoongi terukir menatap Jimin. Sangat hangat namun Namjoon semakin panik menatap Yoongi dan Hoseok yang terlihat parah.

“Jimin please, please??” Namjoon mendanggak menatap Jimin yang masih berdiri di depannya dengan air mata yang membanjiri pipinya. Namjoon memohon kepadanya dan itu yang Jimin inginkan. Wajah Yoongi memucat dan Jimin benar-benar tak tega melihatnya.

“Jimin, we should date so let him go so we can go okay?” Yoongi masih berusaha bersuara. Pandangan Namjoon tak lepas dari Hoseok. Jimin menjatuhkan dirinya berlutut di depan Yoongi. Meraihnya lalu mendekapnya erat, menahan pendarahannya sedangkan Namjoon langsung berlari untuk merengkuh tubuh Hoseok.

“Sorry, I’m so sorry..” Namjoon memeluk erat Hoseok, meraih ponselnya menghubungi tenaga medis agar mereka berdua bisa tertolong.

“I’m sorry, its okay, I’m sorry..”

“Its okay, Joonie. I can handle it, kita harus—cepet selamatin Yoongi.”

“They’re on the way baby. They’re on the way.” Namjoon tak melepaskan dekapannya. Hoseok meringkuh di dekapannya. Sangat hangat. Namjoon membuatnya tenang dengan pelukan hangatnya. Terdengar tangisan Jimin membuat Hoseok sedikit khawatir dengan Yoongi. Namun ia percaya saat Namjoon berkata, “You both will be okay. You will be okay baby.”

Sagara memasuki apartement dan langsung menghampiri Bastian yang sedang membereskan barang bawaannya saat ia berkeliling. Ada beberapa makanan terletak di atas meja makan dan Sagara hanya meliriknya, membuka plastiknya mengintip sedikit.

“Welcome home. Mau makan dulu?” Bastian hanya menggerakkan badannya sedikit meraih pipi pemuda itu lalu memberikannya kecupan kecil.

“Boleh.” Bastian lalu berjalan ke arah kulkas mengambil sebuah minuman dingin memberikannya kepada Sagara yang telah duduk melahap beberapa paha ayam. Bastian tersennyum lalu mengusak rambut pemuda itu ia sangat rindu namun Sagara harus mengisi perutnya terlebih dahulu. Ia kemudian kembali mengambil tempat duduk di depan Sagara lalu meraih kameranya. Menatap beberapa tangkapan yang ia ambil. Ia sesekali memperlihatkannya kepada Saga dan Saga hanya menimpalnya dengan “Cantik” “Keren” “langit sore tadi bagus ternyata”. Jawaban Saga tidak mengehentikan Tian tetap menunjukkan tangkapan gambarnya.

“Gimana? Tugasnya lancar?” Tian membantu membersihkan sisa di ujung bibir pemuda itu saat ia masih mengunyah. Saga mengangguk.

“Lancar. Tadi sama siapa?”

“Oh, Laskar. Temen sekolah aku dulu.” Bastian lalu meletakkan kameranya, mengeluarkan memori card dari sana kemudian menaruhnya di saku celana. “Memori yang ini penuh jadi aku harus pake memori lain.” Saga kembali mengangguk. Ia tampak cuek di mata Bastian tidak ada ocehan, bahkan ia seperti enggan menatap Bastian. Ia hanya meneguk minumannya kemudian membersihkan sisa makanannya. Mungkin Saga membutuhkan sedikit energi? Charging energy? Bastian kemudian bangkit dari duduknya kemudian memeluk Saga dari belakang. Tangannya mengalung di leher pemuda itu.

“Kakak kenapa hm?” Elusan tangan menyentuh pipi Bastian. Ia merajuk, menyenderkan wajahnya di kepala pemuda itu. Saga hanya tertawa kecil. “Kenapa ini sayangku?”

“Kamu gapapa kan..? aku khawatir kamu gak ngoceh..” Bastian membenamkan wajahnya di bahu Sagara. Ia rindu Sagara.

“I’m fine. Tapi aku harus mandi dulu kak.”

“No.. mandi sama aku.” Suara Tian sedikit manja. Saga yang masih terduduk hanya tertawa kecil.

“Yaudah ayo mandi?”

“Sagaraaaaaa…” rengek Bastian. “Mandi sama aku tapi kamu harus ngomel juga..” Sagara kemudian berdiri kemudian berbalik. Bastian sedikit mendanggak saat Sagara menangkup pipinya lalu memberikan kecupak kecil di bibirnya. “Ngomel ke siapa? Emang kakak ada salah mau aku omelin?” Bukan itu maksud Bastian. Dirinya semakin kesal, keningnya mengerut dan bibirnya menjadi kecut. “Ngomelnya bukan ngomelin aku loh…”

“Terus ngomelin siapa aku?”

“Ngomelin diri sendiri! Aku mandi sendiri aja..” Bastian melepaskan tangkupan pipinya namun Sagara sigap memeluknya dari belakang. Berjalan dengan beban di punggungnya, Tian tertawa kecil saat Saga memberikan kecupan gemas padanya. Memang benar Sagara membutuhkan sedikit energi tambahan agar dirinya tidak mengacuhkan Bastian.

Keduanya kini duduk berhadapan di sebuah bathub yang sediki kecil namun muat untuk mereka berdua. Bastian menatap Sagara yang memabsuh tubuhnya dengan air. Raut wajahnya tak bagus. Apakah energi yang diberika Bastian tidak cukup? Semuanya baik-baik saja saat mereka melepaskan pakaian dan memasuki bathub namun senyum Sagara memudar saat beberapa menit tak ada obrolan di keduanya. Bastian hanya menyender, menatap Sagara yang masih fokus memainkan jarinya di air.

“You okay?” Bastian dengan pelan bertanya. Saga mengangkat wajahnya lalu mengangguk pelan, menampilan senyum manisnya namun tak ada jawaban. Ada apa dengan dirinya? Bastian tidak bisa menebak namun yang ia terka saat ini adalah Saga sedang memikirkan beberapa tugasnya.

Masa perkuliahan bisa memberatkan pikiran jika karena beberapa hal sangat menguras energi. Bastian ikut membasuh bahunya, suara percikan air yang terdengar menemani mereka berdua. Diamnya Saga sangat biasa untuk Tian namun kali ini berbeda. Ia bahkan tidak menatap Tian sama sekali. Jika sagara cemburu, ia akan mengeluarkan semua kata-kata terbaiknya untuk kembali memikat Bastian dan melebih-lebihkan dirinya.

Komunikasi kecemburuan Sagara terbilang mudah, ia bisa saja langsung memberitau Bastian bahwa ia cemburu dan Bastian pun berakhir memanjakan Sagara dipelukannya. Setelah itu, Sagara akan mengerti bahwa Bastian dengan siapapun tidak ada hubungannya.

“Sagara,”

“I’m okay, kak.”

Tidak, Tian tidak merasakan hal itu. Keduanya saling bertatap tanpa obrolan. Sunyi untuk pertama kalinya bagi mereka. Tatapan Bastian bertanya-tanya namun Sagara hanya menatapnya meyakinkan.

“Kamu ada kesusahan? Aku bisa bantu.”

“Aku cuman sedikit capek cepertinya.”

“Setelah ini tidur ya? Aku aja yang beresin—“

“Kamu juga pasti capek kak. Aku aja.”

“Why you talk so slow?” Bastian makin khawatir. Nada bicara Sagara sangat pelan. Ia tak ingin Saga sakit karena kelelahan.

“Kalau kamu ga ngomong, gimana aku bisa bantu.”

“Aku cuman capek aja, itu doang kok”

“Its not only tired. Kamu ga biasanya diem gini Saga?” Bastian melihat sesuatu yang berbeda dari Saga.

“I’m just fucking tired okay?” Nada Sagara sedikit tegas. Bastian hanya memicingkan matanya. Ia tak suka jika Saga mulai membentaknya dengan umpatan. Mereka berjanji agar tidak mengumpat satu sama lain.

“Aku mau beres-beres. Lanjutin aja mandinya.” Bastian bangkit namun tangannya ditarik oleh Sagara dengan kuat sehingga tubuhnya terjatuh tepat di depan sagara. Percikan air sedikit mengenai wajahnya. Saga menggenggam erat kedua lengannya. Tatap mereka tak jauh, Bastian merasakan sesuatu di mata Sagara. Tajam, netranya sedikit bergetar. Dan saat Sagara menciumnya, Bastian merasakan jantungnya berdegup kencang. Bukan karena ini adalah sebuah kecupan, namun Sagara melingkarkan tangannya di pinggang Bastian.

Merengkuhnya dan menciumnya semakin dalam. Tautan mereka makin erat saat Bastian perlahan menangkup pipi pemuda itu. Sangat intens, dirinya sedikit melenguh saat Sagara tak sengaja menggigit bibir bawahnya. Bastian belum menemukan jawabannya, mengapa Sagara banyak diam malam ini. Ia sangat merindukan kekasihnya. Ciuman hangat benar-benar mengobati rasa rindunya. Ia seperti memiliki Sagara untuk kedua kalinya.

Bastian mulai merasakan belaian tangan Saga di sekitar pinggangnya. Ciuman mereka belum terlepas. It’s a french kiss. Pinggang lalu pahanya, Bastian melepas ciuman sepihak. Ia menatap Saga dengan nafas yang sedikit memburu.

“Really? What’s wrong with you?”

“You know that no one can have you unless me?”

“yes I know that, but what’s the problem?”

*“No one can have you;unless me, Bastian.” *

Disaat itulah Bastian kembali tenggelam dalam ciuman Sagara. Dengan sentuhan sentuhan kecil di tubuhnya yang sedikit dingin. Bastian memeluk erat Sagara saat ciuman mereka makin intim. Lenguhan Sagara terdengar saat Bastian mulai meremas bahunya. Keduanya benar-benar tenggelam. Dinginnya air yang menyentuh bukanlah penghalang. Sentuhan di paha Bastian membuatnya sedikit bergerak, tak sengaja dirinya menyentuh sesuatu di bawah sana. Tidak, Bastian menyentuhnya dengan ‘miliknya’. Ia sedikit tertegun, melepaskan ciumannya lalu menatap Sagara namun ia tidak bereaksi. Hanya Bastian?

“sorry..”

“No, keep going.” Sagara tertawa kecil, ia menarik pinggul Bastian makin mendekat. Keduanya saling bersentuhan. Mata Bastian tak lepas dari pandangan Sagara, memastikan bahwa Sagara yakin dengan ini. Semuanya sangat intim, bahkan tubuhnya mulai sedikit bereaksi. Ingin Sagara menyentuh tubuhnya lagi. Ia menarik menuntun tangan Sagara agar memberikan belai-an di dada dan perutnya. Saga hanya memindai tubuhnya dengan seksama. Seperti terkesima, tubuh Bastian sangatlah indah.

“If no one can have me, then own me.”

“I already own you, kak.”

“Own me this way.” Dan ini pertama kalinya Bastian mengatakan hal seperti itu. Pikirannya gila namun ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Sagara sudah memberinya ereksi sedari tadi dengan membantunya menggerakkan pinggul maju mundur. Lenguhannya terlepas saat kejantannya bersentuhan dengan Sagara. Tubuhnya meliku indah di depan kekasihnya, dan Sagara tersenyum kagum. Ia seperti mendapatkan sebuah harta karun yang indah. Bastian kini nampak cantik di depannya dengan garis leher yang terlihat menggoda.

Pikirannya melayang, ia tak tahan saat Sagara terus meremas pinggulnya memaksa Bastian bergerak makin cepat.

“Stop—Sagara..”

Tak ada jawaban. Pemuda di depannya hanya menatapnya dengan tatapan kagum, ujung bibirnya terangkat menikmati pemandangan di depannya. Bastian tak tahan, dirinya muali mengatur nafasnya setelah dirinya keluar untuk pertama kali, karena Sagara. Sebuah kecupan mendarat di keningnya. Ia kemudian membenamkan wajahnya saat Sagara kembali menarik dirinya ke pelukan. Meringkuk dengan sedikit kecupan untuk Sagara di dadanya. Ia berfikir bahwa hal ini tidak membuatnya mendapatkan jawaban atas pertanyaannya namun Bastian oke akan hal itu asalkan Sagara tidak terlalu tenggelam dalam pikiran buruknya.

Bukan masalah besar bagi Bastian saat Sagara tidak menepati janjinya untuk bertemu. Mereka sudah berhubungan sejak lama, hal seperti ini mempunyai alasan yang logis dan bagi Bastian, tidak patut untuk dipertengkarkan. Ia dewasa dalam hubungan percintaan saat Sagara dan ia memulai hubungan. Sagara yang kadang ke-kanak-kanakan mulai perlahan mengerti harus apa dan kenapa. Bastian dan Sagara saling menuntun. Di sinilah Bastian sekarang, mengamati beberapa lukisan dan mengambil beberapa footage di kameranya.

Matanya menangkap banyaknya warna dan bentuk di kota Paris. Ini mungkin pertama kalinya, namun Bastian berani dan kekeuh untuk menikmati pemandangan yang terpampang di depannya.

“Profite de la vue?”

Saat Bastian mengarahkan kameranya ke bawah untuk memotret sebuah lukisan, sebuah sepatu pantofel dengan suara yang sedikit berat membuatnya sigap menoleh. Matanya membulat dengan sedikit bergumam bertanya-tanya apakah ia mengenali orang tersebut.

“C'est un plaisir de vous revoir.”

Wajahnya semakin bingung. Wajahnya familiar namun ia pasih berbahasa Prancis. Bastian hanya tersenyum kikuk lalu sedikit menggerakkan tangannya, mengisyaratkan bahwa ia tak bisa berbahasa Prancis.

“Oh? Saya kira kamu udah lama di Paris. Udah lama gak ketemu, Bastian kan?” Tangannya ter-ulur menunggu balasan Bastian yang dengan cepat menjabat tangan pria itu. Senyumnya manis menatap Bastian dengan sedikit anggukan.

“Kita satu SMA. Kamu udah lupa saya sih pasti, ketua osis yang males-malesan.” Pria itu sedikit tertawa di akhir kalimatnya. Mata bastian total membulat saat dirinya sadar bahwa pria di depannya adalah pemuda yang paling digemari karena kewibawaannya saat SMA.

“Laskar? Laskar Pramayoga kan?” Pria dengan senyum manis itu mengangguk. “benar sekali. Apa kabar kamu?” Askar membuka pembicaraan. Senyum manisnya menampilkan gigi-gigi yang manis begitu pula dengan Bastian yang masih sedikit terkaget dengan adanya teman sekolah yang ia temui.

“Baik. Aku di sini lagi kunjungan. Kamu sendiri Kar?”

“Saya tinggal di sini sudah 3 tahun. Kayaknya kamu suka amati lukisan ya?”

Askar sedikit membungkukkan badannya, memandangi setiap lukisan yang bersender di lukisan lainnya. Bastian masih memegang kamera yang berada di depan dada dengan kedua tangannya.

“Suka. Walaupun aku ga terlalu paham tapi kamu setuju kan kalau aku bilang semua lukisan itu indah, maupun abstrak?” Askar mengangguk. Ia kemudian kembali menegakkan tubuhnya lalu menatap Bastian.

“Setuju.” Ia sedikit berjalan melewati Bastian lalu mengambil setangkai bunga dari toko bunga yang berada tepat di samping pameran lukisan kecil-kecilan tersebut. Memberinya kepada Bastian dengan sedikit anggukan, meyakinkan Bastian bahwa tak apa untuk menerimanya dan tentunya, bunga tersebut gratis.

“Abstrak tak berbentuk namun masih indah dengan beberapa warna kan?” Bastian setuju. Matanya sangat cinta dengan warna, bentuk, dan keindahan.

“Mau saya ajak ke tempat lain? Beberapa blok dari sini ada pameran lukisan sepertinya. Mau ikut?” Bastian mengangguk mengiyakan ajakan teman lamanya itu. “Aku ga pernah ngobrol sama kamu pas SMA, tapi kamu kenal aku?” Bastian melemparkan sebuah pertanyaan.

“Siapa yang ga kenal anak yang menang lomba taraf nasional, Bastian?” benar, Bastian melupakan prestasinya saat SMA.

“Ah, tapi itu bukan apa-apa kan? Cuman satu prestasi kok.” Sedikit tawa di akhir kalimat membuat Askar ikut tertawa. “Satu prestasi, but you did well, Bastian.” Ia menepuk bahu Bastian lalu berbalik berjalan sambil berkata, “Ayo ikut kalau mau liat pameran.”

“Askar,” Panggil Bastian. Askar menoleh dan Bastian mengangkat kameranya memotret Askar. Ia kemudian menurunkan kamera dari wajahnya lalu berkata, “Buat album. Mana tau anak-anak yang laik kangen sama Laskar Pramayoga.”

Kekehan kecil dari Bastian membuat Askar malu-malu menunduk lalu menggeleng. Bastian lalu berjalan mendahukui Askar mengisyaratkan bahwa ia sangat tak sabar untuk melihat pameran yang Askar baru saja katakan.

Yoongi-2020-Winter-package-BTS

It was a beautiful afternoon, Jungkook ran to get the fruit basket he brought to pick some flowers in his uncle's garden. There is a pond that is not too big but very beautiful with some flowers growing around it in the back garden. The last time he visited was when he was 7 years old, but at that time he did not know that there would be a pond for some swans.

The swans wasn't as wild as other swans, a little calm and Jungkook didn't bother them at all. He even focused on some of the flowers he picked. The corner of his eye caught something black among the other white swans, a different swan but it looked like it was hurt from not moving at all.

One leg has a red streak with slightly damaged fur. It eyes glazed shut making jungkook curious about it condition. He approached it and his eyes widened when he saw a drop of blood on its wing. Jungkook bravely put the black swan on the rock, no movement made Jungkook bolder. He then ran away from it for a while to get his flower basket. He spilled all the flowers he had picked so the swan could fit in his basket.

When he turned around, a man sat on the rock where the swan was. His hair was disheveled, his eyes drooped down, his feet were red, Jungkook was nervous and asked, “Where's the swan?” “I—the swan..?” The man turned slowly to look at Jungkook who dropped his basket. Where is this man from? his hair was disheveled, his appearance was very disheveled.

“That's crazy? Where can a swan turn into a human?!” a little emphasis on the tone of Jungkook's last sentence.

The man laughed softly and then looked down at his reddened feet again. He didn't really care about Jungkook's whereabouts, he even tried to get up later but his legs couldn't hold the weight of his body for too long. Jungkook reflexively ran when the man almost fell but his hand first landed on the rock to support his body.

“I'm the swan you raised a few minutes ago, you still don't believe it?”

Jungkook shook his head. His round eyes were still staring at the man. Their distance is not far so Jungkook can see some swan feathers falling around him but Jungkook is still silent.

“Being cursed sucks, I don't want to be human.” The man took a deep breath, he turned his head and then looked up at Jungkook who was staring at him with an innocent face all this time. The two of them looked at each other accompanied by the sound of another swan chirping above the pond.

“why?”

One word came out of Jungkook's mouth like a curious child. The man smiled and then moved his feet again to gauge the pain he was feeling.

“Being a swan is more free, after all, my color is black. I'm protected.”

“But you got hurt.”

“Because humans neglected to take care of me.” Jungkook was still curious about the man's story. Slowly he stepped closer to him and sat down beside the rock. Jungkook looked up at the man's face.

“My uncle is taking care of you?” With a sad look but a smile still plastered on his face, the man said, “Your uncle took good care of me. My leg hurt when I fell from the tree. My owner lost me while raising cattle but he didn't look for me. I then—” His explanation was cut short.

“Sir, you're not a swan are you?” one more innocent question for the man but he only replied with a small laugh.

“I am a swan. Your name is Jungkook right?” Jungkook nodded enthusiastically.

“I saw you this morning when your uncle put me in the pond with the other swans. I thought you were the girl who—”

“Ugly goose! I'm not a girl!” Jungkook threw his basket then put on an annoyed face.

“Now you admit that I am a swan. Are you still curious about my story?”

“y-yes… I'm listening ..” Jungkook eased his irritation, he then listened to the man's story carefully.

“I was then torn apart by a group of stray dogs but my owner just let me. I was so hurt, I fell asleep on the side of the road and your uncle found me this morning.” The man then turned his head to look at Jungkook who was innocently digesting all the stories he had said.

“He took me to the pond and treated me. I then played climbing a tree but I fell. I don't know why I went limp again and maybe I thought I was going to die.” He told all the sad stories with a smile.

“No wonder you didn't move...” Jungkook felt a little guilty even though he didn't do anything wrong. He felt sorry for what the man had experienced.

“Then, what were you cursed for?”

The man was still smiling, responding to all the questions that would make him a little uncomfortable but he chose to tell. After all, he believed in Jungkook the first time Jungkook quickly ran with his eyes slightly teary when he saw him lying down.

“I was arrogant, rude, heartless. Sounds like a fairy tale but the ruler after Odette disappeared punished all the swans who didn't comply with her rules.”

“So... you'd rather be a swan?” The man was silent for a moment. Talking to Jungkook made him calm down a bit and forget the pain he was suffering. The sound of running water was heard as the man was silent and Jungkook was waiting for his answer.

“Now… I wish I could become a fully human.” A smile and a warm gaze radiated when the man looked at Jungkook.

“Easy! You just turned into a human! Like what you did earlier right?” Jungkook explained everything like a child explaining how a toy car runs.

“I can only change when I'm in a lot of pain.”

“You mean you were in pain?” a nod answered Jungkook's question.

“And I can only change when someone with a sincere heart realizes my existence.” The man's gaze seemed to be pointing at Jungkook with his sincere and pure heart.

“Are you going to change…?”

“no.”

“why?”

“Someone with a sincere heart is talking to me.”

Jungkook realized who the man was referring to. He didn't realize that his cheeks were a little red and his eyes seemed to glow. He really wanted to smile but he held it in. The man then plucked a flower that grew near the rock and gave it to Jungkook.

“My name is Yoongi, are you coming home tonight?” Yoongi placed a flower stalk in Jungkook's ear.

“N-not yet..I stayed for a week.” Jungkook was nervous.

“Did I scare you?” Yoongi pulled his hand back slowly as he stared at Jungkook who was still staring at him with unmoving eyes.

“no, I'm shy..”

“shy?”

“uh….master goose, I have to go back.” Jungkook got up from his seat with Yoongi watching his every move. His eyes blinked quickly when he saw Jungkook acting a little strange when he took his basket.

“The flowers you threw away, I want to help—” Yoongi lowered his head to pluck all the flowers around him and then straightened up again and saw Jungkook who had run away from him.

“MASTER GOOSE BYE!”


Letter To Jungkook

Hi, this is Mr. Goose. I knew you were going to the pond this afternoon. I'm away on duty and it's a secret duty. I picked some flowers for you. I don't know what you want to do but please accept, I'm working hard with the other white swans. I'll be home soon after dinner. Can we meet tomorrow afternoon?

And I turned into a human this afternoon. Did you see me from behind your bedroom window? I hope you didn't see me as an ugly goose. I'd rather you see me in human form.

Jungkook, let's meet tomorrow afternoon. At first I asked but I don't know how can i erase with this ink so I will invite you to meet. I'll be waiting for you at the rock where we first talked.

Sincerely, Mr. Goose

Sore yang indah Jungkook berlari mengambil keranjang bekas buah yang ia bawa untuk memetik beberapa bunga di kebun milik pamannya. Terdapat sebuah kolam yang tidak terlalu besar namun sangat indah dengan beberapa bunga tumbuh di sekeliling nya di taman belakang. Terakhir ia berkunjung saat umurnya 7 tahun, namun saat itu ia belum tau bahwa di sana akan dibangun sebuah kolam untuk beberapa angsa.

Angsa-nya tidak terlalu liar seperti angsa lain, sedikit tenang dan Jungkook sama sekali tidak mengganggunya. Ia bahkan fokus kepada beberapa bunga yang ia petik. Sudut matanya menangkap sesuatu yang hitam diantara angsa putih lainnya, angsa yang berbeda namun sepertinya ia terluka karena tidak bergerak sama sekali. Satu kakinya mempunyai goresan merah dengan bulu yang sedikit rusak.

Matanya sayu tertutup membuat jungkook penasaran akan kondisinya. Ia mendekatinya lalu matanya membulat penuh saat melihat setetes darah di sayapnya. Jungkook dengan keberanian meletakkan angsa hitam itu di atas batu, tak ada gerakan membuat Jungkook makin berani. Ia kemudian berlari meninggalkannya sebentar untuk mengambil keranjang bunganya. Ia menumpahkan semua bunga yang ia telah petik agar angsa itu dapat muat di keranjangnya.

Saat ia berbalik, seorang pria malah duduk di atas batu tempat angsa itu berada. Rambutnya acak-acakan, matanya sayu menunduk, kakinya memerah, Jungkook tergugup lalu bertanya, “Angsanya mana?”

“Aku—angsanya..?” pria itu menoleh dengan pelan menatap Jungkook yang menjatuhkan keranjangnya. Darimana pria ini? rambutnya acak-acakan, penampilannya sangat kacau.

“Gila? Mana ada angsa berubah jadi manusia?!” sedikit penekanan nada pada kalimat terakhir Jungkook. Pria itu malah tertawa pelan lalu kembali menunduk menatap kakinya yang memerah. Ia tidak terlalu peduli akan keberadaan Jungkook, ia malah mencoba bangkit kemudian namun kakinya tak bisa menahan beban tubuhnya terlalu lama. Jungkook refleks berlari saat pria itu hampir terjatuh namun tangannya mendarat terlebih dahulu di batu untuk menopang tubuhnya.

“Aku angsa yang kau angkat beberapa menit yang lalu, kau masih tak percaya?”

Jungkook menggeleng. Mata bulatnya masih menatap pria itu. Jarak mereka tak jauh namun Jungkook dapat melihat beberapa bulu angsa berguguran di sekitarnya namun Jungkook masih terdiam.

“Terkena kutukan memang menyebalkan, aku tak ingin menjadi manusia.” Pria itu menghela nafasnya berat, ia menoleh kemudian mendanggak menatap Jungkook yang menatapnya dengan wajah polosnya sedari tadi. Keduanya saling bertatapan diiringi suara angsa lainnya yang berbunyi di atas kolam.

“kenapa?”

Satu kata keluar dari mulut Jungkook layaknya anak kecil yang penasaran. Pria itu tersenyum lalu kembali menggerakkan kakinya untuk mengukur rasa sakit yang ia rasakan.

“Tapi kamu terluka.”

“Karena manusia lalai menjagaku.”

Jungkook masih penasaran dengan cerita pria itu. Dengan pelan ia melangkahkan kakinya mendekat padanya lalu duduk di samping bawah batu. Jungkook mendanggak menatap wajah pria itu.

“Pamanku menjagamu?” Dengan tatapan sayu namun senyum yang masih terpampang di wajahnya, pria itu berkata, “Pamanmu menjagaku dengan baik. Kakiku terluka saat aku jatuh dari pohon. Penjagaku kehilanganku saat beternak namun ia tidak mencariku. Aku lalu—“ penjelasannya kemudian terpotong.

“Paman, kau bukan angsa kan?” satu pertanyaan polos lagi untuk pria itu namun ia hanya membalasnya dengan tawa kecil.

“Aku adalah seekor angsa. Namamu Jungkook kan?” Jungkook mengangguk semangat.

“Aku melihatmu pagi ini saat pamanmu meletakkanku di kolam dengan angsa yang lain. Aku kira kau adalah anak perempuan yang—“

“Angsa jelek! Aku bukan anak perempuan!” Jungkook melemparkan keranjangnya kemudian memasang wajah kesal.

“Sekarang kau mengakui bahwa aku adalah angsa. Kau masih penasaran dengan ceritaku?”

“silahkan…aku mendengarkan..” Jungkook meredakan kesal nya, ia kemudian kembali mendengar cerita pria itu dengan seksama.

“Aku lalu dicabik oleh sekolompok anjing liar namun pemilikku malah membiarkan ku. Aku sangat terluka, aku tertidur di sisi jalan dan pamanmu menemukanku pagi ini.” Pria itu kemudian menoleh, menatap Jungkook yang dengan polosnya mencerna semua cerita yang ia lontarkan.

“Dia membawaku ke kolam lalu mengobatiku. Aku lalu bermain memanjat pohon namun aku terjatuh. Entah kenapa aku kembali lemas dan mungkin aku rasa aku akan mati.” Ia menceritakan semua cerita pilu itu dengan senyuman.

“Pantas saja tadi kau tidak bergerak…” sedikit perasaan bersalah pada Jungkook walaupun ia tidak berbuat salah sedikit pun. Ia merasa iba atas apa yang pria itu alami.

“Lalu, kau dikutuk karena apa?”

Pria itu masih tersenyum, menanggapi semua pertanyaan yang akan membuatnya sedikit tak nyaman namun ia memilih menceritakannya. Lagipula, ia percaya dengan Jungkook saat pertama kali Jungkook dengan cepat berlari dengan matanya yang sedikit berkaca kaca saat melihatnya tergeletak.

“Aku angkuh, kasar, tidak berperasaan. Terdengar seperti dongeng namun penguasa setelah Odette lenyap menghukum semua angsa yang tak sesuai dengan peraturannya.”

“Jadi…..kau lebih menyukai jadi angsa?” Pria itu terdiam sejenak. Berbincang dengan Jungkook membuatnya sedikit tenang dan melupakan rasa sakit yang ia derita. Suara air mengalir terdengar saat pria itu diam dan Jungkook yang menunggung jawabannya.

“Sekarang…aku berharap ingin menjadi manusia seutuhnya.” Senyum dan tatapan hangat terpancar saat pria itu menatap Jungkook.

“Gampang! Kau berubah jadi manusia saja! Seperti yang kau lakukan tadi kan??” Jungkook menjelaskan semuanya layaknya anak kecil yang sedang menjelaskan bagaimana mobil mainan berjalan.

“Aku hanya bisa berubah saat aku sangat kesakitan.”

“berarti kau tadi kesakitan?” sebuah anggukan menjawab pertanyaan Jungkook.

“Dan aku hanya bisa berubah saat seseorang dengan hati yang tulus menyadari keberadaanku.” Tatapan pria itu seakan-akan menunjuk Jungkook dengan hatinya yang tulus dan murni.

“apakah kau akan berubah…?”

“tidak.”

“mengapa?”

“seseorang dengan hati yang tulus sedang berbincang bersamaku.” Jungkook menyadari siapa yang dimaksud pria itu. Tak sadar bahwa pipinya sedikit memerah dan matanya seperti berseri. Ia sangat ingin tersenyum namun ia menahannya. Pria itu kemudian memetik satu bunga yang tymbuh di dekat batu lalu memberinya kepada Jungkook.

“Namaku Yoongi, apakah kau akan pulang malam ini?” Yoongi menempatkan tangkai bunga di telinga Jungkook.

“b-belum..aku menginap selama seminggu.” Jungkook tergugup.

“apakah aku membuatmu takut?” Yoongi menarik tangannya kembali dengan pelan saat menatap Jungkook yang diam menatapnya dengan mata yang tak bergerak.

“tidak…aku malu..”

“malu?”

“uh….tuan angsa, aku harus kembali.” Jungkook beranjak dari duduknya dengan Yoongi yang menatap mebgikuti setiap gerak geriknya. Matanya mengerjap cepat melihat Jungkook sedikit bertingkah aneh saat mengambil keranjangnya.

“Bunga yang kau buang, mau kubantu—“ Yoongi menunduk mencabuti semua bunga yang berada di sekitarnya lalu kembali menegakkan badan dan melihat Jungkook yang sudah berlari meninggalkannya.

“TUAN ANGSA AKU DULUAN!”


Surat Untuk Jungkook

Hi, ini tuan Angsa. Aku tau kau akan ke kolam sore ini. Aku sedang pergi untuk bertugas dan ini tugas rahasia. Aku memetik beberapa bunga untukmu. Aku tidak tau kau ingin apakan namun tolong terimalah, aku bekerja keras dengan angsa putih lainnya. Aku akan pulang saat setelah makan malam. Apakah kita bisa bertemu besok sore?

Dan aku berubah menjadi manusia siang tadi. Apakah kau melihatku dari balik jendela kamarmu? Aku berharap kau tidak melihatku sebagai angsa yang jelek. Aku lebih suka kau melihatku dalam wujud manusia.

Jungkook, mari bertemu besok sore. Awalnya aku bertanya namun tidak tau akan kuhapus dengan apa tinta ini jadi aku akan mengajakmu bertemu. Aku akan menunggumu di batu tempat pertama kali kita berbincang.

Tertanda, Tuan Angsa.

Yoongi.

Pandangan mereka bertemu saat Yoongi masuk dengan sekotak donat dan kopi di kedua tangannya. Yoongi duduk tanpa adanya obrolan pembuka dari keduanya. Hoseok hanya menatap Yoongi menunggu pemuda itu membuka obrolan. Kakinya menyilang sedikit menggerakkan pergelangan kakinya sambil terus menatap Yoongi yang pandangannya kebawah seperti mempersiapkan apa apa saja yang akan ia bicarakan kepada Hoseok.

“I’m not gonna eat these donuts unless you talk.” Yoongi membuang nafasnya berat lalu menatap Hoseok.

“Kita gak seharusnya membahas masa lalu. Gue sendiri juga sedikit lupa sama masalah itu.” Hoseok memiringkan kepalanya saat mendengar kata ‘masalah’ keluar dari mulut Yoongi.

“Masalah?”

“Gue sedikit waspada sama Namjoon. Dia bukan orang biasa, Hoseok.”

“Gue juga bukan orang biasa kok?” Yoongi menegakkan tubuhnya kemudian bersandar. Tatapannya tajam menatap Hoseok yang masih duduk bersilang kaki.

“That’s not what I mean. Gue pernah ketemu Namjoon pas kelas 2 SMP.”

Hoseok kembali menatap Yoongi dengan wajah kebingungan. Menyipitkan sedikit matanya menangkap apa yang pria di depannya itu katakan.

“Lo gak bakal inget. 80% dari hal yang gue inget adalah lo yang dibawa ke rumah sakit, you were bleeding, kepala lo bocor. Lo punya bekas jahitan di kepala belakang kan?” Yoongi membuang wajahnya kearah lain. Ia berusaha mengingat hal tentang Namjoon karena yang ia ingat adalah wajah Hoseok yang pucat kala itu.

“Lo bisa cerita yang jelas gak? Namjoon nya mana? Kok lo malah cerita tentang gue?”

Hoseok benar-benar bingung dengan hal yang berhubungan dengan Namjoon. Yoongi yang tak percaya atas pertanyaan Hoseok kembali menatap Hoseok dengan wajah tak percaya.

“It’s 80% gue gak begitu—“

Leave my room. Gue mau tau tentang Namjoon, bukan tentang gue.” Arogan, Hoseok sangat arogan terhadap Yoongi saat ini. Sedikit hilang kesabaran, Yoongi justru menyesap kopi yang ia bawa kemudian kembali bersender setelah mengambil nafas panjang. Ia kembali tenang.

“Gang kecil di dekat sekolah tempo dulu, lo anak yang sering dirundung. Gue gatau kenapa gue bisa temuin lo udah pucat, you’re so pale at that time. Darah di mana-mana, gaada recehan buat telpon umum. Gue panik, sahabat gue pucat dan gue pikir lo udah mati.”

Yoongi menatap Hoseok dengan tatapan hangat sambil menautkan jarinya, sesekali meremas tangannya sendiri menahan ingatan pahit yang ingin ia hapus.

“Lari ke jalan raya, tapi gue ketemu Namjoon diseret sama orang. Bajunya penuh darah, gue pikir dia yang mukul lo. Tapi beberapa anak ada yang babak belur. I guess, he’s saved you.” Yoongi mengangguk sambil melemparkan senyum tipis kepada Hoseok. Ia kembali melanjutkan ceritanya saat menatap Hoseok yang pandangannya masih bertanya-tanya.

Hoseok tidak tertarik dengan cerita perundungannya namun ia menunggu jawaban pertanyaannya tadi, apa yang terjadi dengan Namjoon saat itu?

Yoongi menyadari hal itu, ia merasa Hoseok benar-benar membuat dunianya berganti pada Namjoon. Sedikit sakit hati tapi Yoongi tidak tau bahwa darimana asal sakit hatinya berasal. Apa karena ia menyukai Hoseok yang lebih mementingkan Namjoon atau Hoseok yang semena mena terhadap memori buruknya.

“Salah satu pria, orang yang kita pernah liat di tv. Ketua gangster yang pernah membunuh beberapa buruh pasar beberapa tahun yang lalu. Dibebaskan karena alasan yang tak masuk akal, dan sampai sekarang masih bebas.” Yoongi memainkan telunjuknya sambil menatapnya.

“At that time, Namjoon shouted and called him dad.”

“Stop spreading bullshits, Yoongi. Di profile Namjoon, ayahnya cuman pegawai biasa.” Hoseok sedikit tertawa tak percaya apa yang diceritakan Yoongi. Yoongi mengangkat wajahnya menatap Hoseok.

“Bullshit?”

“Lo gasuka Namjoon lo ngarang cerita kan?”

“What? Pemikiran macam apa? Lo masih kecil kah?”

Then, what’s the point of your story, Yoongi?” sedikit penekanan pada kata ‘Story’ membuat Yoongi merasa Hoseok sedikit keterlaluan.

Hoseok, if you fall in love with him, it’s not gonna work okay? Gue tau kalian udah ada kemistri but please, don’t.

you’re jealous. You can leave, thank you.” Hoseok bangkit dari duduknya lalu mengambil jasnya, beralih mengambil donat yang Yoongi bawa dan membuangnya ke tempat sampah.

Don’t talk shits about my models, Yoongi. Lo cuman bawahan—“

“Hoseok, lo keterlaluan kalau gini caranya.” Yoongi ikut bangkit, menghampiri Hoseok dan menatap sekotak donat yang sudah tercampur dengan sampah. Ia sedikit tersenyum lalu kembali mengarahkan pandangannya kepada Hoseok.

I’m here to protect you, nothing else.

“gue bisa jatuh cinta sama siapapun, lo gaada sangkut pautnya. Kalau lo gasuka Namjoon, then you can close your eyes if he’s coming.

Pertengkaran obrolan seperti ini kerap Yoongi rasakan saat berhadapan dengan Hoseok. Hoseok sangat keras kepala dan kerap berfikir pendek namun Yoongi memakluminya dan sering mengalah. Sikap tempramennya mungkin ia dapatkan dari sang ayah dan benar saja, ia bekerja dengan Hoseok agar dapat melindungi pria itu. Yoongi masih terngiang dengan wajah Hoseok yang pucat saat di rumah sakit, itu menjadi hal yang paling menakutkan baginya, kehilangan Hoseok.

Yoongi mengangguk lalu berbalik lalu mengambil jasnya yang ia letakkan di sofa.

End of the meeting. Call me if you need something, gue ada di studio kalau lo mau.” Senyum ia lemparkan sebelum meninggalkan ruangan Hoseok.

Sedangkan Hoseok kini berfikir apakah cerita Yoongi benar atau hanya bualannya saja. Yoongi tak pernah mengarang cerita namun terlihat Yoongi sangat membenci Namjoon. Terkait luka di kepalanya juga menjadi bukti bahwa benar ia dirundung. Hoseok mulai mengingat kembali masa perundungan itu, namun ia hanya ingat saat di rumah sakit.

Tapi, seseorang muncul dalam ingatannya namun tak jelas wajah dari orang itu. Ia merasa badannya terseret dan langsung terbangun di rumah sakit.

Terlepas dari benar-tidaknya cerita Yoongi, ia hanya perlu berhati-hati terhadap keadaan, bukan Namjoon. Hoseok menganggap Namjoon tempat teraman baginya saat ini. Bahkan wartawan tak pernah merilis kedekatannya saat bersama Namjoon. Hoseok aman bersama Namjoon.

Langkah kaki Sagara terlihat lantang dengan sedikit pencahayaan dari lampu motor di sebuah tepi jalan sepi. Ia berhenti di sebuah rumah kecil dan menatap seorang pemuda dan seorang gadis yang tertawa.

Sagara hanya sedikit menoleh menatap beberapa orang di belakangnya yang sudah membelokkan motornya kembali ke rumah tersebut. Nathan, dengan tangannya yang tergantung di depan dada menyipitkan matanya.

“Ngapain?” Sagara tidak menjawab pertanyaan Nathan namun pandangannya beralih pada gadis yang memiringkan kepalanya, menatap Sagara enteng.

“Dara, lo jangan macem-macem sama gue.”

“Lo ngapain di sini bangsat!” Teriakan Nathan tidak juga membuat Sagara mengalihkan pandangannya pada Dara. Justru Dara lah yang menahan Nathan agar tidak bangkit dari duduknya.

“Ngapain? Lo kesini mau ketemu gue ya?” Dara mendekat. Mengalungkan lengan kanannya pada Sagara lalu mengecup pipinya pelan. Ia kemudian berbisik, “Is it about Bastian?” senyum Dara terlihat mengintimidasi.

“Gue bilang gausah sentuh dia, lo ga paham?” Sagara dengan tatapan tajamnya tidak membuat Dara takut. Justru membuat gadis itu makin menggodanya.

“ya gimana? Lo nya gamau dibilangin sih..” “Gue gasuka sama lo.”

“Terus kenapa lo nidurin gue waktu itu!?” “Karena lo yang mulai bangsat! Lo yang masukin obat kan ke minuman gue?”

“ANJING PULANG LO!” teriakan Nathan membuat keduanya menoleh. Dara terlihat sedang mengontrol amarahnya sedangkan Sagara? Meremehkan gadis itu dengan tatapannya.

“Gue gak kenal lo, Dara Adista.” Telunjuknya ia letakkan pada kening gadis di depannya lalu mendorongnya pelan sehingga Dara hanya bisa menutup matanya kesal. Sagara tak punya waktu untuk di buang. Ia tak mencari masalah dengan Nathan, hanya saja sepupunya, Dara sangat menganggunya. Ia berbalik kemudian meninggalkan tempat ini namun sesuatu terjadi.

Dara dengan sigap mengambil sebuah balok lalu memukul bahu Sagara dengan tiba-tiba. Semua orang yang berada di tempat itu tentu kaget akan tindakan Dara, bahkan Nathan pun bangkit dari duduknya. Sagara terdiam, tak ada pergerakan ia masih berdiri mematung.

“LO GAADA BUKTI GUE YANG MASUKIN OBAT KE MINUMAN LO!”

“Bukan gue yang nidurin lo.”

“LO SUKA SAMA GUE LO SENDIRI YANG NAFSU SAMA GUE!!”

“Bukan gue.” Sedikit meregangkan bahunya, ia merasa perih namun melanjutkan langkahnya untuk pergi.

“Bastian, lo bakal nyakitin Bastian kayak lo nyakitin gue kah?” “Dar, don’t even say his name.” Sagara berbalik menatap Dara yang wajahnya mulai memerah karena emosi yang ia rasakan.

“Bastian, I’ll kill him-“

Tak merespon namun Sagara langsung mengambil balok kayu yang Dara gunakan sebelumnya dan mengayunkannya kearah Dara. Satu tendangan membuatnya ambruk, Sagara tau bahwa yang menendangnya adalah Nathan.

“Gue bilang pulang atau lo mati di sini.” Mati di sini bukan pilihan tentunya namun ia tak suka jika nama Bastian di sebut dengan ancaman mengerikan. Sagara kembali bangkit lalu mengayunkan balok kayu ke arah Nathan. Namun ia kalah jumlah. Beberapa anak buah Nathan jelas-jelas memukulnya membabi buta. Ia terhempas, ditendang dan dipukuli secara bersamaan.

“WOY ANJING!”

teriakan dari jauh membuat beberapa pemuda tidak menghentikan aktivitasnya. Sagara benar-benar meringkuk dikerumuni oleh sekelompok pemuda. Matanya mulai samar, bau anyir mulai tercium dan ia sadar bahwa saat ia terbatuk, darah mulai mengalir dari mulutnya. Satu pemuda yang memukulinya ambruk kemudian diikuti dengan lainnya. Sagara masih meringkuk dengan bajunya yang sudah kotor akibat tendangan lawannya.

“Lo berani sama gue??” suara itu, Sagara membuka matanya perlahan. Dengan samar ia melihat Sian yang sedang menarik kerah baju Nathan. Apa yang ia lakukan di sini?

“Adek gue lo bunuh, lo gak gua kasih ampun, paham??” masih samar. Suaranya masih samar namun Sagara masih bisa bangkit. Dara yang menyaksikan perkelahian hanya terdiam menganga menatap Sagara yang sudah babak belur.

“adek lo yang mulai!” intonasi suara Nathan tak kalah tinggi dari Sian. Kemudian,

BUGH!!!!!

Satu pukulan membuat Nathan jatuh tersungkur. Sian menoleh menatap Bastian dengan wajah yang penuh amarah. Kepalan tangannya memerah wajahnya mengeras. Sagara yang melihat itu juga ikut terdiam. Namun, Dara dengan cepat menampar Bastian dengan kuat membuat pria itu hanya tertawa renyah. Mengeraskan rahangnya lalu menatap Dara tajam.

“He’s mine. And I’m not gonna hit you. Not now but someday so be careful, get it?” Bastian berbalik menatap Sagara yang berdiri mematung menatapnya.

Pria itu, wajahnya membiru dan bajunya berantakan. Bastian menampakkan mata kekecewaannya pada Sagara kemudian berlalu meninggalkan pemuda itu. Sian dan Tama yang tadinya ikut menyelamatkan Sagara juga mulai meninggalkan tempat itu. Sagara? Mengejar Bastian yang berlalu berjalan menjauhinya.

“Kak!” Bastian terhenti lalu berbalik. “Lo kira lo ganteng?”

“I am?” Sagara tertawa pelan, merentangkan tangannya lalu mendekat. Ingin memeluk Bastian namun pria itu justru mendorong Sagara dengan kuat.

“Lo bilang ga bakal berantem lagi. Bahkan Sian ngeliat lo dikeroyok.” Senyum di wajah Sagara perlahan memudar.

“No, aku gak berantem kok kak.” “Hukum sebab akibat itu ada.” “you’re right. And I’m doing this not because I’m having fun.”

“Gue tau kok lo mau lindungin gue, I will say thank you for that. Tapi apa lo beneran dengerin gue?” Sagara masih menatap Bastian yang wajahnya kembali memerah.

“I trust you, but please don’t get hurt because of me. Semua ada jalannya, kekerasan bukan salah satunya.”

“This is the last time, ya kak?”

“Lo harus nyembuhin luka lo dulu. Gue pulang sama Tama lo bisa sama Sian.” Bastian sangat sesak sekarang namun ia tidak mungkin menangis di depan Sagara.

“Kak, masih sama gue kan?” Tatapan Sagara layaknya meminta jawaban, matanya sedikit berair entah karena perih dari luka di pipinya atau hatinya. Entah mengapa pertanyaan yang baru saja ia lontarkan menyakitinya.

“Gue butuh waktu. You should go home.” Bastian berbalik berjalan menyusul Tama yang menunggunya sedangkan Sian mengerti bahwa adiknya butuh seseorang sekarang. Sagara menunduk kemudian ikut berbalik berjalan berlawanan arah.

Sebuah mobil berhenti tepat di depan pagar rumah Bastian sore ini. Terlihat asing sehingga Bastian sendiri mengintip di balik jendela sebelum membuka pintu rumahnya.

“Kak!” suara melengking sesaat jendela mobil turun perlahan, menampakkan Sagara yang melambai kearah Bastian yang masih berdiri di ambang pintu.

“Loh?” Apakah Sagara sudah legal untuk melajukan sebuah mobil? Apa ini mobil milik Sian? Bastian berjalan kearah mobil lalu berdiri di dekat pintu, mengintip sedikit dengan memasukkan wajahnya kedalam mobil.

“Masuk sini. Kita ngedatenya pake mobil gapapa?”

“Kamu udah ada SIM belum?”

“Aku pernah balapan kok.”

“Bukan itu pertanyaannya. Balapan sama SIM itu beda.”

“Sama kok.” Sagara kemudian membuka pintu mobil agar Bastian dapat masuk duduk di sampingnya, bukannya mengintip dari luar mobil.

“Sama sama berhadapan sama polisi kan?”

“Bandel kamu.” Memasang wajah yang masam, Bastian masuk kedalam mobil dan segera memasang sabuk pengamannya. Sagara mulai menyalakan mobilnya dan hendak menginjak pedal gas namun Bastian menghentikannya dengan satu tepukan di pahanya.

“Seatbelt.” Tatapan tajam tertuju pada Sagara kali ini.

“Pasangin dong?”

“Dih?”

“Gamau? Yaudah—“ hendak menginjak pedal gas, Bastian buru-buru menarik seatbelt dan memasangkannya ke Sagara. Satu kecupan di pipi untuk Bastian dari pria yang lebih muda darinya itu.

“Sagara!?”

Respon Sagara? Ia hanya tertawa lalu mulai melajukan mobilnya. Sagara membawa Bastian ke lingkungan yang lebih tenang. Sedikit jauh dari kota dan ya, mereka sudah membeli beberapa cemilan untuk di makan. Sore hingga malam, mereka hanya berkendara. Angin sore yang berhembus membuat Bastian sedikit tenang. Ia sesekali menoleh kearah Sagara yang menikmati lagu di radio.

Wajahnya berseri dengan mata yang sedikit menyipit memperhatikan jalanan yang sepi. Tak sadar bahwa Bastian ikut terssenyum saat Sagara mulai menyanyikan lagu favoritenya dengan asik sambil memainkan jarinya di kemudi. Pemuda itu lalu menoleh menatap wajah Bastian dengan senyum yang manis.

“Suka?” anggukan pelan menjadi jawab Bastian. Senyum tipis Sagara pertanda bahwa ia ikut senang bila kekasihnya ikut merasakan kesenangannya.

Mereka terhenti di sebuah pantai di tepi jalan. Malam sudah tiba, bintang terlihat amat jelas dengan minimnya cahaya kota. Suara ombak dapat terdengar. Kini, Sagara dan Bastian tengah duduk di sisi pagar penghalang antara jalan dan pasir pantai.

“The moon is beautiful tonight, isn’t it?” tanya Bastian sambil menoleh kearah Sagara yang mendanggak mencari letak bulan.

“Mana bulannya?” Sagara tidak paham akan kutipan itu. Bastian kemudian menangkup wajah Sagara lalu mengarahkannya ke arah bulan.

“itu, di situ.” Bastian masih tersenyum. Wajar saja Sagara tidak mengerti perkataannya. Ia hanyalah anak sekolah yang masih ingin bersenang-senang.

“You like being here?”

Pertanyaan Sagara melepas keheningan sesaat yang tercipta saat mereka mulai tenggelam dengan suasana.

“Here? Yes.”

“Karena ada aku?”

“Karena ada Sagara.”

Senyum Bastian terpampang nyata di depan wajah Sagara. Pemuda itu tidak tahan akan ke indahan Bastian. Ia memberanikan diri untuk memberinya ciuman kedua.

“Can i..kiss you?”

Bastian mengangguk. Sangat menggemaskan. Ia kadang lupa bahwa Sagara berusia lebih muda darinya. Bastian memejamkan matanya saat Sagara mulai mendekatkan wajahnya. Kecupan lembut mendarat di bibir ranumnya bersamaan dengan bunyi ombak yang saling bertabrakan. Bastian masih gugup, sama seperti ciuman pertama. Pipinya terasa panas dan ia refleks meremas tangannya sendiri.

Agak lama Sagara mengecup bibir Bastian, ia kembali mengecup bibir bawahnya lalu menjauhkan wajahnya. Senyum kembali nampak di wajahnya. Ia lalu mengelus pipi pemuda di depannya dengan lembut.

“Thanks for worrying me. Aku tau kamu ngajak aku kesini karena gamau aku berantem kan?”

Bastian terdiam. Sagara tau? Bagaimana?

“itu—“

Thank you. Aku gabakal berantem kalau kakak yang minta.” Sagara sedikit tertawa lalu menggenggam tangan Bastian yang mengepal.

“itu…karena bahaya kalau kamu lebam lagi. Sekolah sama orang tuamu nanti khawatir.”

“Tenang, gak lagi kok.” Sagara meneguk kaleng minumannya lalu menoleh menatap Bastian.

“Tapi izinin aku berantem kalau ada yang gangguin kakak ya?”

“Saga…”

“don’t worry. They call me street fighter.”

Bastian sedikit tertawa diikuti dengan Sagara yang berada di sampingnya.

“Tapi..can you stop fighting? Not only for me but for yourself?”

“why?”

“Liat kamu lebam bikin aku sedih sometimes, sebelum kita pacaran juga gitu. Dan mungkin itu jadi tanda kalau I’m truly in love with you.”

“you care about me?” “Yes, Sagara. I do. Jadi jangan berantem lagi ya? Buat kebaikan kamu.”

Sagara sedikit terdiam. Ia sudah terbiasa untuk mengambil tindakan yang seharusnya jikalau teman atau sang kakak sedang berada dalam masalah. Untuk kasus Bastian, ia berfikir akan tidak tanggung-tanggung untuk menghabisi siapa saja yang menggangu kekasihnya itu.

“Saga, kalau misal mau jagain aku, jagain dengan cara yang bisa jagain kamu juga ya? Your mine now.”

Bastian kini menjadi miliknya, Sagara paham akan itu. Detik itu juga, ia berjanji agar menjaga Bastian dengan cara yang dapat membuat dirinya juga aman.

“I promise you this, Bastian. I will protect you and protect myself—“

“—for you.”

“For myself.”

Semuanya membungkuk saat Hoseok dan Yoongi mulai memasuki gedung. Aura mereka berbeda dan sedikit senyum hangat untuk menyapa para pegawai lainnya.“selamat pagi” ucapan tersebut terus-menerus mereka terima setiap harinya. Hoseok kemudian langsung berjalan menuju lift dengan Yoongi yang berjalan di beakangnya.

“Model udah kumpul di ruang meeting. Mereka cuman berdua so, agak gampang buat ngasih beberapa penjelasan.” Yoongi mulai menekan tombol lift lalu kembali menyender di samping Hoseok.

“Okay, got—dua??” Hoseok sadar. “Dua orang? Model gue?” Ia kemudian segera mengulurkan tangannya agar pintu lift kembali terbuka. Wajah panik Hoseok telrihat, ia menatap Yoongi seakan bertanya tanya. Dimana Namjoon?

Yoongi hanya menggedikkan bahu tak tau kabar model yang Hoseok maksud. Kemudian, seseorang masuk dengan sekantong roti penuh di pelukannya. Mata Namjoon membulat menatap Hoseok yang memasang wajah paniknya.

“Namjoon!” Hoseok tersenyum langsung menarik Namjoon masuk kedalam lift. Sadar akan hal itu, Yoongi sedikit melirik dan dengan cepat menegakkan tubuhnya.

Menatap Namjoon diam dan dengan tatapan lain. Ia menarik lengan Hoseok agar sedikit menjauh dari Namjoon, namun pemuda itu seperti magnet bagi Hoseok. Pintu lift tertutup membuat mereka bertiga berada di dalam lift dengan aura yang berbeda, terkhusus Yoongi dan Namjoon

“Gue kira lo ga dateng.” Mata Yoongi membulat mendengar perkataan Hoseok barusan.Gue? Hoseok tidak pernah berbicara Bahasa non-formal pada orang lain, sekalipun modelnya.

“Ini, buat sarapan.” Sekantong roti dari cafeteria ia serahkan kepada Hoseok. Pagi ia pergi lebih dulu untuk membeli beberapa roti untuk Hoseok. Mengingat pria itu mengatakan bahwa hanya ada kopi di meja kerjanya saat ini, Namjoon berinisiatif memberi Hoseok sarapan ringan.

“Makasih tapi Hoseok jarang sarapan.” Yoongi meraih kantong itu untuk diamankan. Tatapan Yoongi dan Namjoon bertemu dengan Hoseok yang berada di tengah-tengah mereka.

Yoongi dengan tatapan tak suka sedangkan Namjoon dengan tatapan remeh.

“Right…gue ga biasa sarapan but thanks!”

Pintu lift terbuka, ketiganya langsung keluar dari lift dan berjalan menuju ruang meeting. Di dalam sana sudah terdapat dua model pria dan wanita yang sedang duduk berbincang ringan. Hoseok tersenyum menyambut mereka lau kemudian duduk di depan mereka. Namjoon duduk tepat di depan Hoseok dan mulai tersenyum.

“Kalian pasti sudah tau kenapa saya mau bertemu.” Yoongi kemudian meletakkan beberapa katalog di atas meja. Lalu ia kemudian menampilkan katalognya di layar tancap.

Foto Hoseok dengan model baju berbeda, membuat Namjoon sesekali melirik karah Hoseok yang fokus dengan apa yang di tampilkan di atas.

“Katalog untuk back to school kali ini, saya memilihi kalian—“ netra Yoongi menatap kearah Namjoon kemudian kembali menatap kedua modelnya. “—untuk menjadi model katalog musim ini.”

Presentasi berjalan dengan lancar membuat mereka sedikit berdiskusi tentang katalognya. Namun, tidak ada suara dari Namjoon. Pemuda itu terus menatap gelang pemberiannya di pergelangan tangan Hoseok. Ia juga sesekali mencuri-curi pandang menatap wajah Hoseok yang sedang fokus menjelaskan mekanisme pemotretan kepada modelnya. Manis, pikir Namjoon.

“Hanya itu untuk hari ini, thanks for coming. See you tomorrow untuk pemotretan.” Hoseok tersenyum menatap kedua model tersebut lalu menoleh menatap Namjoon.

Ia sadar bahwa sedari tadi, Namjoon hanya diam mendengarkan Hoseok berbicara. Tak ada balasan sama sekali membuat Hoseok berkenan meluangkan waktunya untuk Namjoon.

“Can you stay here with me a little bit? You seems lost.” Hoseok kembali duduk dan Yoongi, menatap mereka berdua dengan tatapan yang tidak menyenangkan.

“Hoseok, kita ada pertemuan pukul 11.” “Just 5 minutes.”

“Jangan buang-buang waktu.Let’s go, I’ll prepare your clothes.”

“Yoongi, just 5 minutes.”

Yoongi menatap Namjoon seperti mengisyaratkan kepada pemuda itu bahwa ia harus berhati-hati untuk tidak melakukan hal buruk pada Hoseok. Namjoon hanya terdiam dan matanya masih tertuju pada Hoseok. Mengikuti kata Hoseok, Yoongi justru keluar ruangan setelah ia berkata, “I’ll wait on Lobby.”