Galileo Jung

Jimin sepertinya tidak fokus dalam pengambilan gambarnya. Kamera memang berada di kedua tangannya namun ia masih tetap waspada terhadap Jungkook yang sedang merasakan euforia di atas panggung. Seruan demi seruan ia dengarkan, Jungkook tersenyum megah menyapa semua penggemar. Matanya tidak pernah berpindah dari Jungkook sejak ia melihat sang Manager mendorongnya untuk mempersingkat waktu di backstage. Dia terjatuh, bajunya dibuka paksa dan bahkan beberapa stylist di dorong menjauh saat Jungkook butuh minum atau kipas kecil. Untung Jimin mengikutinya untuk mengambil bagian shot list yang sudah ditentukan. Sesekali Jungkook terjatuh namun ia masih tersenyum. Para penggemar menganggap hal itu menggemaskan namun Jimin justru khawatir.

Sampai di penghujung konser, Jungkook mengatakan sepatah kata untuk para penggemar. “Thank you for being here. I guess I couldn’t smile if you guys not here. I love you!”

Semuanya bersorak dan acarapun selesai. Lagi, sangat terburu-buru Jimin sedikit berlari ke belakang backstage untuk mengecek Jungkook dari jauh. Nampak kelelahan dan Jungkook sepertinya melukai kakinya sendiri.

“Butuh berapa jahitan?” sang manager nampak bertanya, menatap Jungkook yang kesakitan terduduk di sofa. Hoseok nampak mulai membersihkan lukanya dan memanggil beberapa staff untuk membantu Jungkook berdiri. Sedangkan Jimin hanya berdiri di ruangan lainnya, menatap Jungkook dari jauh.

Jungkook mendapatkan beberapa jahitan di kakinya. Beberapa orang nampaknya memenuhi ruangan namun sang manager menyuruh mereka untuk bubar. Hanya tinggal dirinya dan Jungkook di sana. Naluri seorang Jimin, ia tidak peduli dengan kata-katanya malam lalu. Ia memasuki ruangan lalu bertanya, “Gimana? Kamu udah baik?” namun sang manager menatapnya tak suka.

“Lo siapa?”

Video director. Gue mau nge-cek keadaan Jungkook.”

“Dia udah baikan. Dia harus ke kamar buat istirahat,” ucap sang manager. Dari tatapan Jungkook, sepertinya ia tidak mengharapkan banyak dari Jimin. Jika ia harus ke kamar, maka ia harus.

“Udah baikan?” tanya Jimin kembali.

Sir, I said he’s okay. The concert is over, biarin Jungkook istirahat oke?” sang manager melangkah membuat Jimin sedikit mundur. Tubuhnya lebih kecil dari sang manager dan Jimin total kalah jika ia harus memiliki konflik fisik. Dan juga, Jungkook sepertinya tidak terlalu peduli lagi. Ia bangun kemudian duduk di tempatnya, berusaha untuk beranjak berjalan meninggalkan ruangan. “Gue mau istirahat, besok gue harus fit,” ucap Jungkook.

Jungkook bahkan tidak memasukkan apa-apa ke dalam perutnya sebelum konser dimulai. Hanya air yang mengisi di perutnya. Rasanya lelah sekali, ia bahkan minta bantuan sang manager untuk menggotongnya ke kamar. Tidak tau ingin meminta bantuan ke siapa, Jungkook menurunkan gengsinya untuk meminta tolong kepada orang yang ia benci.

Ok thanks. Lo bisa balik ke kamar lo.” Jungkook tersenyum tipis berterima kasih saat ia sudah duduk di atas kasurnya. Namun sang manager sepertinya tidak ingin meninggalkannya . “I’m your manager, saya harusnya sama kamu terus kan?” senyum aneh nampak dari wajahnya.

“Bukan berarti lo harus di sini sama gue kan?”

Why so bratty, Jeon Jungkook?” sejak saat kata-kata itu terucap, Jungkook tau ada yang tidak beres. Ia dengan sangat pelan meraih ponselnya dan dengan insting ia berusaha menelpon seseorang.

Fuck off. Gue mau istirahat.”

“Istirahat sama gue ya?” Satu hingga dua langkah di hadapannya, Jungkook sedikit menjauh. Sesekali melirik ponselnya dan membuka pesan. Nama kontak teratas entah siapa, tolong merespon cepat. Aku butuh bantuan.

“Lo mau ngapain anjing?!” Satu tamparan mendarat di pipi Jungkook. Dan kembali, kata-kata mengerikan terucap. “You’re so pretty. Stylist kamu gapernah muji kamu cantik, kook?”

Sangat menyeramkan dan Jungkook total takut. Ia sangat ingin melawan namun rasanya jika ia melayangkan satu pukulan, ia akan pingsan. Tidak ada tenaga yang tersisa di tubuhnya. Tidak mengonsumsi apapun selama sehari membuatnya sangat tidak berdaya. Kini monster tersebut langsung menindih badannya dan melakukan hal yang sangat membuat Jungkook tak nyaman.

Fuck off!” teriak Jungkook namun nampaknya sang monster mendapatkan keinginannya. Seseorang memakinya akan meningkatkan gairahnya. Tentu ponsel Jungkook terhempas saat kedua tangannya tertahan di sisi kepalanya. Jungkook meronta memberontak sangat kuat namun rasanya ia hanya bisa menangis. Tubuhnya benar-benar se-lemah itu. Tak lama, ketukan yang membabi buta bisa menghentikan perbuatan sang manager. Ia menoleh sedetik kemudian kembali menatap wajah Jungkook yang nampak pucat dan memerah. Jungkook menangis ketakutan.

Well played, see you tomorrow, pretty.” Sang manager bangkit lalu berjalan menuju pintu. Membukanya kemudian memperlihatkan Yoongi dengan tatapan tajamnya.

“Ngapain di sini? Bukannya lu udah harus di kamar?”

“Engga. Saya cuman kasih Jungkook semangat pasca hari pertama. He did well!” satu tepukan di bahu Yoongi kemudian sang manager berlalu, “Saya duluan ya.”

Ada yang tidak beres dan Yoongi tau itu. Ia langsung masuk ke kamar Jungkook dan langkahnya terhenti saat ia menatap Jungkook yang menangis seenggukan terbaring di atas kasur.

Yoon, can I kill myself?” suaranya bergetar. Yoongi langsung menghampiri Jungkook dan menangkup wajahnya. Tatapan Jungkook kosong, matanya sembab.

“Kook!? Lo diapain sama dia?”

I lost my brother. I lost my lover, I’m tired. Kenapa ga sekalian aja gue kehilangan diri gue sendiri Yoon?” tatapannya sendu melihat Yoongi yang menatapnya teduh di atas wajahnya.

Do not say such things like that. You will be fine.” Tatapan Yoongi berpindah ke pergelangan tangan Jungkook yang membiru. Tidak ada kata maaf, amarahnya sangat tinggi sekarang. Saat Yoongi ingin mengejar sang manager, Jungkook menarik bajunya, masih dengan tatapan sendu-nya. “G-gue takut. Jangan bilang soal ini ke siapa-siapa. Terutama Jimin.”

Jungkook merasa malu terhadap semuannya. Ia bahkan tidak ingin Jimin tau apa yang ia telah alami. Entah itu akan membuat Jimin marah, sedih, atau kesal. “Dia udah lewatin banyak hal di sini, gue gamau bikin dia sedih lagi Yoon …” Jungkook kembali menangis. “Kook…” entah mengapa Yoongi tidak bisa menahan kesedihannya. Jungkook mengalami banyak hal di hari-hari yang berdekatan. Jungkook sudah melewatkan banyak hal dan dia masih mengkhawatirkan orang lain. “Jimin should know so he can protect you. Lu gabisa jadi satu-satunya yang melindungi dalam hubungan. Rumah berdiri karena ada tiang-tiang yang bekerja sama.”

Tidak ada balasan dan Yoongi mengerti. Ia kemudian menarik Jungkook kedalam pelukannya. Sejujurnya, Yoongi tidak bisa menahan air matanya. Akan lebih baik jika Jungkook tak melihatnya menangis. “I’m here okay? Don’t worry. I’ll make sure you’ll be fine. You’re my little rockstar, everyone’s star, Kook.”

Nataliel menatap sosok di depannya yang berjalan menuju ke arah mobil. Keano mengenakan kemeja hitam dengan lengan yang digulung seperempat dari tangannya. Rolex, rambutnya yang ia ikat dan tubuh itu, Nata benar-benar bersama seorang selebriti sekarang. Wanginya semerbak saat Keano memasuki mobil dan Nata, ekspresinya datar, berusaha untuk tetap normal namun hatinya meronta-ronta. Menit sebelumnya ia merasa tidak cukup, sangat bodoh, kesal, sedih, marah. Namun saat Keano bertanya, “Lama ya?” pikiran Nata buyar seketika. Tanpa basa-basi yang panjang, Nata kini menuju ke tempat tujuannya. Sebuah restoran yang tidak terlalu mewah namun cukup bagus dalam pelayanan.

Saat menjemput Gabriel, Keano mengeluarkan senyumnya. Selama perjalanan, ia hanya diam dan bermain dengan handphone nya dan senyumnya nampak saat Gabriel masuk ke dalam mobil. Nata kembali mempertanyakan perasaan Keano yang sebenarnya. Memiliki isu kepercayaan tidaklah mudah. Pertanyaan-pertanyaan kecil dan tidak penting akan sering keluar dalam pikiran. Mereka akan menumpuk dan membuat emosi yang beragam. Sedih, senang, kesal, bahkan gembira. Namun emosi gembira hanya keluar 10% saja dan itu sangat jarang. Terlebih jika pertanyaan tersebut disebabkan oleh seseorang yang bukan siapa-siapa bagi diri sendiri. Tidak, hal itu disebabkan saat kita bukanlah siapa-siapa bagi mereka. Gabriel dan Keano berbincang selama perjalanan. Gabriel sangat rapih dengan kemeja putihnya dam rambut yang sudah ia tata sangat rapih. Rasanya Nata ingin pulang setelah mengantar mereka berdua. Ia hanya memakai kemeja biasa, tanpa mandi sebelumnya dan sekarang kepercayaan dirinya menurun. Jika bukan karena Desmond yang mendesaknya untuk datang, Nataliel tidak akan tinggal untuk menyantap makanan dengan harga yang terbilang mahal itu.

“Duluan aja, aku yang bawain tas kamu.” Nata memarkirkan mobilnya namun Keano menggeleng. Ia berkata bahwa ia, Nata, dan Gabriel harus jalan bersama guna keselamatannya dari media. Gabriel setuju akan hal itu dan dengan pasrah Nata meng-iyakan. Mereka keluar dari mobil dengan Nata yang berjalan mengikut di belakang. Melihat sekitar memastikan tidak ada wartawan atau jurnalis dengan id card aneh mereka. Desmond menyambut mereka saat Keano pertama kali membuka pintu.

“Tenang, hari ini kayaknya sepi dan gue udah reservasi keseluruhan.” Desmond dengan bangga menjelaskan.

“Wow, you’re rich rich.” Keano menimpali. “No I’m not. Ini restoran medium dan ini makan malam spesial,” ucap Desmond kembali. Ia kemudian menoleh ke arah Nata dan menunjuk seseorang yang sedang duduk di sampingnya. “Nat, Aden. Manager gue.”

Aden berdiri dan menampakkan senyum kotaknya dan langsung menjabat tangan Nata. Ia kemudian memperkenalkan diri, “Raden Waris Mahendra. Panggil aja Aden, panggil sayang juga boleh tapi ga boleh panggil baby.

“Baby?”

“Yes baby?”

Nata tertawa melihat tingkah Aden yang sepertinya sedikit aneh namun menyenangkan.

“Den, udah. Kasian anak baru ntar trauma lo giniin,” ucap Desmond menanggapi candaan Aden . Tentu semuanya adalah candaan untuk mencairkan suasana. Kini Nata sepertinya mulai percaya diri saat melihat Aden hanya mengenakan hoodie berwarna hitam. Sungguh terlihat perbedaan seorang manager dan artis mereka. Tas-tas berada di samping mereka sedangkan sang artis berbincang dengan logam mahal yang melingkar di pergelangan mereka. Aden bergeser ke arah Nata saat semuanya asik mengobrol.

“Dah berapa lama Nat?”

“Kerjanya ya?”

“Menjomblo.” Candaan Aden tidak ada habisnya.

“Itu mah—“ “Ga ga, gausah dijawab. Gue cuman bercanda.” Aden tertawa saat memotong perkataan Nata. “Ya kerja nya. Gue kemarin lihat berita manager sebelumya. Semenjak itu ya?”

Nata mengangguk.

“Tahan?”

“Tahan apanya?” Nata bertanya.

“Holy. Dia agak-agak bossy kan?”

“Engga ah.”

“setuju sih.” Terus, untuk apa Aden bertanya hal itu?

“Nat, lo tau kan Desmond ngajak makan malam cuman buat ngobrol sama Gabriel?” bisik Aden kembali. “Lihat, mereka berdua duduk berhadapan sedangkan Holy jadi obat nyamuk di samping Gabriel. Ada jarak pula. Lo ngeh, kan?”

“iya. Emang gue tau kok kalau soal itu.”

“lo bosen ga Nat?”

“Sedikit.”

Aden menggebrak meja tiba-tiba lalu menatap Desmond lalu berpindah ke arah Gabriel.

“Main truth or dare!” Celetuk Aden. Sangat tiba-tiba namun nampaknya Gabriel merasa tertantang dan benar saja bahwa ia butuh penyegaran. Berbincang dengan Desmond sangat menguras energi nya karena ia harus mengontrol detak jantungnya setiap kali Desmond tertawa dan menampakkan lesung pipinya.

“Tapi peraturan baru. Kita bakal tentuin siapa yang lakuin setelah truth atau dare diberikan!” Aden nampak semangat. Ia melihat kesempatan Gabriel untuk ‘lebih dekat’ dengan Desmond. Ia kemudian mengambil botol dan berkata, “Pertama, Truth. Dimulai dari gue.” Ia meletakkan botol tersebut di atas meja.

“say something from your deepest heart to someone in this room.” Senyum Aden sangat licik dan ia langsung memutar botolnya. Keano nampaknya melirik Nata yang sedang memperhatikan botol yang berputar tersebut. Ia berharap bahwa orang itu adalah Nata. Nata yang akan menyampaikan isi hati sebenarnya kepada Keano. Namun, botol berhenti tepat menunjuk Aden.

“Loh!”

Desmond tertawa, begitupun Gabriel. Tatapan Keano masih belum berpindah sedangkan Nata sepertinya refleks tertawa menertawai Aden yang kebingungan sendiri. Aden berbalik ke arah Nata. “Nata—“ “Next!” Keano mengambil botol tersebut lalu memposisikannya kembali. “Lo berdua baru kenal dan udah ada something from your deepest heart? Skip aja.”

Nata hanya menatap Keano yang nampaknya sangat bersemangat ingin memutar botol tersebut. “Gue gabisa semangatin Nata buat jadi manager yang baik gitu?” tanya Aden. Respon Keano hanya menggeleng. Keano lalu berkata, “Selanjutnya, Truth.” Ia kemudian menatap Desmond. “Sebutin kegagalan terbesar lo yang bikin lo nyesel.”

Keano memutar botol tersebut dan sepertinya Desmond yang harus menjawab pertanyaan itu. Ada sedikit ketegangan di sana terlebih Aden yang sedikit waspada.

“Kegagalan terbesar gue ya?” Desmond tersenyum kemudian menatap Aden. Mengisyaratkan bahwa tidak apa untuk mengatakannya. “Ini bukan kegagalan namun penyesalan terbesar. Milih solo karir dan ninggalin Thridty.

“Lo gabakal bilang itu kegagalan karena yang ngerasain dampaknya bukan lo, kan?” Keano bertanya.

You should stop blaming someone. Dan lo tetep sukses kan?” “Why you leaving, Desmond?

Nata melihat tatapan Keano yang berubah. Suasana ceria berubah menjadi tegang dan ia tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. “Next,” uap Nata sebelum Desmond menjawab pertanyaannya. Ia mengambil botol tersebut kemudian berkata, “Dare.

Inilah saatnya ia menyatukan Gabriel dan Desmond. Ia harus mencairkan suasana secepat mungkin agar tidak ada ketegangan lagi. “Kiss someone on your right side.” Jika Gabriel yang mendapatkannya, sudah pasti bahwa Gabriel dan Desmond akan melakukannya. Nata memutar botol tersebut dan sepertinya dewi fortuna tidak memihak Desmond. Botol tersebut menunjuk ke arah keano.

“Keano cium mas Gabriel?” Aden menyeletuk menatap Desmond yang sepertinya sudah kesal semenjak pertanyaan Keano. Terlebih Nata. Saat Keano menatapnya, ada kekecewaan di sana. Gabriel merasakan hal yang sama. Sangat enggan namun permainan tetaplah permainan. Ada keheningan beberapa detik namun Keano langsung mendaratkan ciumannya kepada Gabriel. Mengingat bahwa Nata bisa saja mengatakan hal yang sama saat Aden ingin melakukan tantangan nya, Nata memilih untuk diam. Ia bisa saja memberontak namun dalam kasus ini, Keano lah yang melangkah duluan, menarik Gabriel dalam ciumannya. Ia tidak bisa mengalahkan Gabriel, pria yang Keano suka. Desmond dan Nata berada di sepatu yang sama. Permainan kini menjadi permainan yang jelek saat hati yang mulai bermain. Tak terlalu lama namun sepertinya dampak yang diberikan akan membekas.

next,” ucap Desmond kemudian mengambil botol tersebut. Ia kemudian memilih dare sebagai tantangannya. “Confess your feelings to someone and then kiss them for 5 minutes.”

Botol pun berputar dan ia berhenti tepat di depan Nata. Hal yang ditunggu Keano kini tiba. Perasaan Nata yang sebenarnya. Keano berharap banyak kali ini namun sepertinya Nata sudah kepalang sakit. Ia justru berkata, “Sisa beberapa hari lagi untuk konser amal. Kita harusnya fokus ke sana. Benar kan, Den?” Aden mengangguk sedikit canggung saat suasana mulai menegang.

Setelah tantangan terakhir, mereka berbincang mengenai konser amal dan media yang terlalu berisik. Tidak ada kata-kata dari Nata. Ia hanya menunduk memandangi makanannya memikirkan apa yang harus ia lakukan. Menyatakan perasaan atau hanya berdiam diri. Ia juga tidak ingin kehilangan pekerjaannya begitu saja hanya karena ia suka dengan Keano. Keano adalah idaman namun ia adalah seorang penghibur. Seorang seniman, seorang artis yang akan memunculkan banyak resiko jika memiliki hubungan serius dengannya.

Makan malam berjalan biasa saja dengan perbincangan ringan. Tiba waktu pulang dan Nata masih belum mengeluarkan kalimat apapun selain, “Sini, aku yang bawa.” Ia selalu berada di belakang Keano dan Gabriel, menjaga mereka dan membawa mereka kemana pun mereka ingin pergi. Tidak ada perbincangan di dalam mobil hingga tiba di depan rumah Gabriel.

“Nat, gue mau ambil sesuatu dulu ya?” Nata mengangguk. Ia berkata bahwa ia akan menunggu di dalam mobil saja. Keano turun mengikuti Gabriel masuk ke dalam rumahnya. Entah mengapa mata Nata terasa hangat. Se-tetes air jatuh dari matanya dan terasa sakit di dadanya. Melihat Keano yang selalu tersenyum saat bersama Gabriel membuatnya berfikir ulang mengenai apakah ada yang salah di dirinya? Apakah Nataliel tidak akan penah cukup untuk orang-orang? Apakah Nataliel adalah lelucon dalam hubungan? Percintaan memang bukan lingkungannya dan Nata berani masuk saat Keano memberikan umpan padanya. Entah siapa yang harus disalahkan namun Nataliel menyalahkan dirinya sendiri karena ia menjadi seorang pemikir.

Keano keluar dari sana sembari tersenyum dengan sebuah buket bunga di genggaman nya. Masih berdiri menatap Gabriel yang sepertinya mengatakan sesuatu. Dalam sudut pandang Nata, mereka berdua saling menggoda dan itu terasa sakit baginya. ‘Berhenti jadi manager dan menjadi milikku seutuhnya.’ adalah kebohogan terbesar Keano untuk Nata. Namun di sudut pandang Keano, ia sangat berterima kasih kepada Gabriel dan ia tak sabar untuk melihat senyum Nata saat ia memberikan bunga kepadanya.

“Lo sama Desmond gimana?”

“That’s our last kiss and he will be my forever kiss. Desmond tanggung jawab gue,” ucap Gabriel tersenyum. “Go get him. You can date him, ketua setuju asal gue yang tanggung jawab. Dan gue, bersedia penuh menanggung semuanya buat kebahagiaan lo berdua.”

“Gab, lo ga harusnya lakuin semua ini.”

“Gue baik kok Bel, lo jarang dapetin kebahagiaan yang lo mau. Sebagai manager, kali ini gue bantu lo untuk dapetin kebahagiaan lo, oke?”

Dukungan yang sangat manis dari Gabriel dan selangkah lagi menuju kebahagiaan Keano Abel. Ia berjalan dengan buket yang masih di depan dadanya namun langkahnya sedikit pelan saat ia bisa melihat Nata dengan wajah memerah di dalam mobil. Menunduk dan sedikit terisak. Apa yang ia lakukan sehingga ia membuat Nata menangis? Apakah ciuman itu?

Keano menghampiri Nata dan masuk ke dalam mobil. Bunga itu masih di genggaman nya. Sebelum ia bertanya, Nata terlebih dahulu berkata, “I like you so much and it’s hurt. I’m so sorry, Keano.”

Keano menoleh menatap Nata saat ia terisak sembari berbicara kepadanya. “Sorry for what?”

“Sorry for thinking too much.”

“Maaf itu bukan untuk hal yang begitu, Nat.”

“Can you stop doing that, please?”

“Doing what?”

“Being kind. I hate that.” Nata sangat perasa dan Keano berfikir bahwa semuanya biasa saja.

“Kamu berusaha untuk nenangin aku, balas perasaanku karena itu yang kumau,” ucap Nata sedikit terisak. Ia masih belum berani untuk menatap wajah Keano. “Kamu harusnya sadar kalau perilaku kamu itu buat aku berharap. Aku manager mu dan memang harus berada di bawahmu, tapi kamu selalu jalan di samping ku. Kamu harus sadar kalau semua yang kamu lakuin bikin aku jatuh. Perkataanmu harus kamu pegang. Gimana kalau beneran berhenti jadi manager dan aku bukan punya-mu se-utuhnya?”

Keano masih terdiam. Ia masih tak percaya bahwa apa yang ia lakukan selama ini adalah perilaku alami terhadap Nata tanpa ada niat untuk mendekatinya. Seperti hatinya lah yang bergerak, bukan tubuhnya.

“You hurt me because you said that you love me, but actually you didn’t, Keano.”

“I do love you, Nataliel.”

“You good with your words. That’s why you become a rapper.” Nataliel menghapus air mata yang membekas di pipinya. Ia kemudian mulai menyalakan mesin mobilnya. “Let’s forget it. Besok, jangan pernah jalan di samping-ku. Aku udah seharusnya di belakang-mu. Jangan jatuhkan kedudukanmu karena mau setara sama aku. Orang seperti kita ga bakal berhasil. Dan dengan senang hati, perasaan-ku akan kubuang jauh.”

Perkataan Nata membuat Keano menggenggam kuat bunga yang berada di dadanya. Bunga yang cantik yang akan menjadi milik Nata akan menjadi pajangan di rumahnya sendiri. Sesungguhnya, Keano tidak pandai dalam berkata-kata. Dan pada akhirnya, ia menghargai keputusan Nata untuk tidak berjalan bersampingan. Keduanya sakit dalam pehamaman yang berbeda.

Malam ini mereka melakukan makan malam bersama di bagian rooftop hotel. Tempat yang telah disediakan untuk beberapa staff dan talent agar bisa menikmati makanan dengan kebersamaan. Sering sekali Jungkook menjadi objek foto oleh beberapa karyawan bertugas. ”Bisa minta foto?” Jimin dan Yoongi yang melihat hal itu hanya tersenyum melihat keramahannya. Jimin belum mendapatkan jawabannya atas keberadaan Namjoon karena Hoseok terlihat enggan membahasnya. Satu meja terdapat empat orang dan satu tarikan kursi ditempatkan tepat di sebelah Jimin, Kim Mingyu.

“Hi. Gue kira lo sibuk?” Mingyu tersenyum dengan sepiring makanan yang berada di tangannya. Ia kemudian meletakkannya dan saat itu juga tatapan Jungkook menjadi aneh. Jimin diapit oleh Mingyu dan Jungkook sedangkan Hoseok dan Yoongi hanya menyantap makanannya sembari melirik Jungkook, memastikan apakah anak itu bisa menahan kecemburuan nya atau tidak.

“Ya abis ini gue langsung ke kamar kok.”

“Oh gitu, lo mau sup? Sup nya enak loh. Ini coba,” ucap Mingyu mendorong se-mangkuk sup yang ia bawa ke hadapan Jimin.

“Lo tau ga kalau manusia mempunyai dua tangan dan dua kaki,” ucap Jungkook mendorong kembali sup itu ke tempat semula. “Jimin bisa kok ambil sendiri kalau dia mau. Lagian itu kan makanan lo jadi masa lo mau kasih ke Jimin?” Tidak. Jungkook sepertinya sudah cemburu. Jimin hanya melirik kekasihnya itu dengan senyuman tipis. Jungkook sangat lucu saat cemburu.

“Engga kok, manusia punya dua tangan dan dua kaki. Gue bisa ambil lagi, yang ini buat si manis aja.” Mingyu kembali mendorong mangkuk nya namun Jungkook kembali membalas, “Jimin ga suka sup.” Jungkook menekankan nada bicaranya. “Iya kan? Jim?” matanya berpindah ke Jimin lalu pemuda itu mengangguk. Ia tidak ingin Jungkook makin cemburu. Mengalah sekali saja apa salahnya?

Setelah kejadian dorong-mendorong se-mangkuk sup, mereka kemudian makan dengan lahap. Jungkook meraih tangan Jimin yang berada di bawah meja lalu mengaitkan jari mereka. Sedikit mengintip Jimin ke bawah, tersenyum malu saat Jungkook mengelus punggung tangannya dengan jarinya. Jungkook menoleh sekali dan tersenyum kepadanya. Seperti mereka berkomunikasi dengan pandangan, mereka sedikit tertawa. Tidak terlalu menampakkan kesenangan mereka, ada Mingyu di sini.

“Oh ya? Kurang satu orang. Kemana?” ucap Mingyu tiba-tiba. “The Manager, where is he?”

“Iya? Hoseok? Namjoon kemana? Gue telfon ga aktif deh.” Jungkook menimpali. Ia juga penasaran keberadaan Namjoon saat ini. Hoseok dan Yoongi menghentikan aktifitas makannya. Entah harus menjawab dari mana, Jungkook sangat tempramen jika orangnya berada di situasi yang tidak mengenakkan. Terlebih akan ada manager baru yang menyusul. Cepat atau lambat, Jungkook harus tahu.

“Nyusul, tapi besok.” Yoongi mendahului Hoseok.

“Tapi kok telfon gue ga diangkat? Telfon Jimin juga. Bukannya harusnya dia udah ada di Bangkok?” tanya Jungkook. “Dia ngurus apa sih sampe ga ikut tur?”

Hoseok lalu menjawab, “Ngurusin hal yang penting. Tapi dia bakal nyusul kok.” Pernyataan itu sedikit mencurigakan bagi Jungkook dan Jimin. Seorang manager seharusnya berada di samping Jungkook selama ia menjalani tur. Entah apa yang akan terjadi jika tidak ada Namjoon, semuanya akan kacau tanpa rencana.

“Jung Hoseok?” seorang gadis menghampiri Hoseok dengan sedikit membungkuk.

“Ya?”

“Manager baru udah ada di lobby. Katanya mau ketemu sama anda dulu?” bisik gadis itu namun Jimin bisa mendengarnya. “Manager baru?” ucap Jimin. Jungkook yang mendengar hal itu memiringkan kepalanya, mencoba berfikir apa arti kalimat itu.

“Namjoon?” tanya Jungkook kepada gadis itu.

“B-bukan… bukannya Namjoon udah di pecat? Semua staff tau kok …” ucap gadis itu.

“Semua staff?” Jungkook menatap Hoseok. “Semua?”

“Sehabis makan malam gue jelasin. Oke?” Yoongi berusaha menenangkan namun nampaknya Jungkook kali ini tidak ingin bekerja sama. Jimin menggenggam erat tangannya namun Jungkook melepaskannya paksa.

“Kasih gue nomor Namjoon sekarang,” pintah Jungkook. “Kenapa dia di pecat?”

“Rumor bilang itu karena skandal—kalian…” gadis itu menatap Jimin. Skandal? Skandal apa lagi? Namjoon mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja kali ini namun nyatanya, hal yang baik hanya akan terjadi kepada Jungkook, bukan Namjoon. Jungkook menoleh menatap Jimin dan meninggalkan meja makannya segera.

“Jungkook!” panggil Mingyu. “Where are you going?!” Jungkook tidak menghiraukan. Skandal. Mingyu menatap Jimin yang sepertinya sangat khawatir terhadap Jungkook kali ini. “Gue ngomong bentar sama dia ya?” setelah mengatakan hal itu, Jimin bergegas mengejar Jungkook. Ia berlari ke arah lift berusaha agar lift tidak menutup dan ikut masuk ke dalam. Hanya ada mereka berdua dan lift pun tertutup.

“Kook..?” Jimin ingin meraih tangan Jungkook namun sepertinya Jungkook masih mengatur emosinya. “Kita cari jalan keluarnya ya?”

“Turun dari lift sama aku bakal jadi berita lagi, Jim.”

“Aku tau..”

“Terus kenapa ikut?” Pertanyaan Jungkook membuat Jimin menoleh menatapnya. “Kamu lagi ga baik-baik aja. Aku harus temenin kamu.” Jimin menjawabnya.

“Dengan adanya kamu di sini, ga ada yang bakal baik-baik aja.” Jungkook tidak berani menatap Jimin saat ia mengatakan hal itu. “Ini namanya bom bunuh diri.”

“Kamu ngomong kayak aku yang salah di sini.” Sepertinya, Jimin mulai menampakkan emosinya. “kamu gatau seberapa sedih aku pas liat kamu tidur di ruang latihan? Tau ga seberapa pengen kaki ku lari buat ambilin botol minum pas lagi latihan?”

“Kita lagi membandingkan siapa yang paling sakit kah di sini?” Jungkook menoleh menatap Jimin. “Kamu ngomong kayak kamu yang paling sakit di sini.”

“Kook, gaada yang membandingkan. Aku cuman mau kamu sadar sama apa yang aku hadapin selama ini.”

“Terus menurutmu aku ga hadapin apa-apa selama ini?” tiba-tiba saja air mata Jungkook jatuh entah kenapa. “Aku ngelawan kecemasan ku setiap malem karena mikirin kamu tidur yang nyenyak atau ngga. Aku berusaha buat kamu tetap aman. Aku berusaha buat Namjoon tetap aman.”

“Tapi kamu ga ngeluh!”

“Aku ga selalu harus ngeluh Jim! Semuanya karena aku mau dan biar kamu baik-baik aja. Ngasih kamu beban akan bikin kamu makin terbebani. Masuk di agensi ga se mudah yang kamu kira.” Pintu lift terbuka dan Jungkook segera meninggalkan Jimin namun Jimin mengejarnya.

“Kamu pikir aku ga siap buat pacaran sama orang kayak kamu?” titah Jimin. “Kamu kira aku ga siap mental, kamu kira aku bakal ninggalin kamu gitu aja cuman karena kamu ngeluh capek dan segala macam?”

“Orang kayak aku, yang kamu maksud? Orang kayak aku ga pantes milikin kamu.” Suara Jungkook sedikit bergetar saat memandang wajah Jimin yang mulai memerah. “I hate that words, I don’t wanna be ‘that person’ to you. Sejak awal ketemu, aku gamau jadi orang lain. Tapi sekarang, I am ‘that person’ to you.” Jimin menggeleng lalu berkata, “Seenggaknya aku bisa nampung rasa capek mu. Aku bisa bantu kamu.”

“No one can’t help me, Jim. Even myself.”

“I’ll try…”

“You know what? I’m trying too …” Jimin menunduk menahan tangisnya saat mendengar bahwa Jungkook mencoba menyelamatkan dirinya sendiri. Tidak ada yang bisa menyelamatkannya. Hal itu membuat JImin merasa tak berguna namun dengan logikanya yang ia bisa gunakan, Jungkook tidak bisa disalahkan sepennuhnya.

“Kalau gitu, aku gabakal temenin kamu untuk tur ini.”

“Great.”

“Is that what you want?”

“Sadly, yes.”

“Okay …”

Pintu lift terbuka dan Jimin segera masuk ke dalam sana. meninggalkan Jungkook yang mengusap air matanya. Keduanya kembali terpisah namun tidak berakhir. Jungkook melakukan hal yang baik kali ini. untuk pertama kalinya, tidak ada kata makian yang ia lemparkan ke Jimin. Ia menahan emosinya sebaik mungkin. Ia mengeluarkan handphonenya dan kembali menatap nama tertera di sana. Namjoon. Ia butuh Namjoon untuk memarahinya kali ini.

Ini akan menjadi pembenaran atas perkataan Nataliel yang dimaksud bahwa seluruh percakapannya dengan Desmond bukanlah mengenai konser amal. Desmond hanya membahas dua atau tiga kalimat mengenai hal itu kemudian berpindah dengan menyebut nama seseorang. Gabriel. Desmond mengatakan bahwa kedatangannya hanya semata-mata untuk Gabriel. Berada di atas panggung bersama Keano menjadi opsi kedua. Gabriel, aku akan menemuinya di konser amal dan melamarnya. Hal yang membuat Nata sedikit kaget namun wajar, toh saat pandangan pertama Nata juga sempat kagum kepada Gabriel.

Setelah sesi obrolan tersebut, ada seseorang yang khawatir namun di waktu yang sama, Keano dan Gabriel duduk di sofa dengan beberapa makanan ringan di depan mereka. Tv terus menyala menampakkan visual yang acak, mereka berdus terdiam sejak 5 menit yang lalu saat Gabriel tak sengaja mengatakan sesuatu yang membuat Keano berfikir keras. Permainan Truth or Dare. Keano bertanya apakah Gabriel menyukainya dalam pilihan Truth dan Gabriel berkata iya. Mereka tidak langsung terdiam namun ada kecanggungan yang dibuat.

“Sejak kapan?” Keano bertanya sambil menoleh ke arah Gabriel. “Gue kira lo ngerti kalau manager gaboleh suka sama artisnya?”. Gabriel tertawa memecahkan keheningan, berusaha untuk meyakinkan Keano bahwa semuanya hanyalah permainan dan ia tak mungkin suka padanya.

“Jadi lo beneran percaya kalau gue suka sama lo?” Gabriel memastikan dengan senyum yang masih terpampang di wajahnya. Matanya menyipit karena ujung bibirnya yang tertarik namun ia berusaha membuka matanya. “Gue percaya karena lo pernah cium gue di studio.”

Kejadian entah kapan namun Gabriel yakin bahwa ia sudah menghapus hal itu dari ingatannya. “Hah?” senyumnya memudar. “C-cium apaan?”

“Lo mabok dan langsung cium gue. Di bibir,” Jawab Keano. “Itu ciuman pertama gue dan gue anggap itu alasan lo suka sama gue. Bukan, itu bisa jadi bukti kalau lo suka sama gue.”

“Lo kenapa jadi inget kejadian yang lalu sih, No?”

“Itu bukti. Lo beneran suka sama gue kah?” Keano menoleh. Gabriel tidak merespon apapun namun kemudian ia hanya tertawa kecil seperti seolah-olah jawaban Keano adalah imajinasi belaka.

“Omong kosong apaan itu, Keano?”

“Dan lo sekarang lagi ga mabok, Gabriel. Dua hal yang lo lakuin pas lo sadar dan pas lo mabok. Guess what?” Keano masih menatap pemuda di depannya. “Secara ga langsung, lo nyatain perasaan ke gue, Gabriel.”

Gabriel menunduk. Benar jika ia menyukai Keano namun ia tidak ingin menunjukkan hal itu. Sebenarnya, perasaannya masih abu-abu mengenai Keano. Ia pikir, ia terlalu memperhatikan artisnya dan memberikan apapun yang bisa ia berikan. Gabriel jatuh sendiri karena kebaikannya sendiri dan untuk masalah perasaan, Keano tidak akan ikut andil.

“Kita bisa ngomongin konser amal aja?”

“Nata yang urus.”

“Tapi gue manajer utama. Lo harus bahas itu sama gue.”

“Tapi lo sendiri yang bilang soal apapun itu tentang konsel amal, Nata yang urus.”

“Tapi kan—“ dan pada saat itu Gabriel ter-bungkam. Keano baru saja mendaratkan bibirnya. Napasnya terasa menyentuh kulit pipinya dan bulu mata lentik Keano terlihat jelas di pandangan Gabriel. Sedikit lama dan Keano kembali ke posisi awal.

I’ll try to make this work. Mari buktikan kalau lo bener-bener suka sama gue apa ngga.” Jelas bahwa pikiran Gabriel kosong sekarang untuk membalas perkataan Keano. Ciuman tiba-tiba saat tidak mabuk terasa nyata. Perhatian Keano kini berpindah ke ponselnya saat nama Nata terpampang. Ia membalasnya dan nampaknya Keano mengundang Nata untuk ikut dalam pesta kecilnya.

“Gue suruh Nata ke sini buat beli cemilan lagi. Lo habisin semuanya.”

Keano beranjak membereskan sampah yang berada di meja. Bukan meninggalkan Gabriel begitu saja, seorang Keano juga punya jantung. Entah kebodohan apa yang merasukinya hingga mencium managernya sendiri. Keano bersembunyi di kamar mandi setelah ia berpamitan untuk meminjamnya sebentar. Gabriel. Pemuda yang ia cium adalah Gabriel. Sedikit lama Keano bersembunyi namun ia menunggu sesuatu. Entah apa namun ia tidak bisa mendapatkannya. Hingga bel berbunyi dan Keano langsung menuju pitu dan membukanya.

“Nat, masuk.” Ajak Keano.

“Kamu kenapa baru balas sih?!” Nata kira Keano cemburu kepadanya namun saat melihat senyumnya, Keano benaar-benar dalam keadaan hati yang baik.

“Tadi ngobrol soal konser amal. Ayo masuk.”

Nata masuk dengan beberapa buah di tangannya. Ia baru saja mengetahui bahwa Gabriel sakit setelah Keano membalas pesannya. Bukan sakit namun Keano masih menganggapnya seperti itu.

“Eh Nat, dari rumah ya? Jauh jauh lo kesini disuruh Keano. Jahat emang orang satu itu.” Gabriel tertawa setelah berhasil memecahkan suasana canggung antara Keano dan dirinya. Tapi lebih tepatnya, Nata yang mencairkan suasana.

Nata memberikan buah kepada keano dan mengupaskannya untuk Gabriel walaupun ia berkali-kali mengatakan bahwa ia tidak sakit. Perbincangan mereka kini mengarah ke konser amal, hal yang seharusnya menjadi topik utama. Namun, Nata teringat Desmond saat melihat Gabriel. Ia sekarang melihat Gabriel sebagai gebetan Desmond, bukan manager utama.

“Nat.” panggil Keano tiba-tiba. Nata menjawab, “Iya?” “Pulang bareng gue ya abis ini. Lo sendiri kan ke sini?” Nata mengangguk. “Kamu bawa mobil ya? Kebetulan aku lagi ga bawa mobilnya.” Nata melakukan pekerjaannya sebagai manager, pelindung HOLY.

“Kayaknya ini udah malem dan kalian berdua butuh istirahat juga. Dan gue, mau istirahat jadi …” Gabriel memanjangkan intonasi ucapannya. Matanya kerap menangkap mata Keano yang menatapnya.

“Yaudah, ketemu besok di kantor.” Keano membantu Gabriel membereskan semuanya sedangkan Nata bersiap dan memunguti semua barang Keano yang ia bawa. “Nat duluan aja ya, gue bantu bersih bersih dulu.” Nata mengangguk dan memilih menunggu di pintu luar.

Nata senang saat mengetahui bahwa Keano tidak cemburu padanya. Pikirnya, Keano bukanlah orang yang gampang cemburu ,terlebih Desmond adalah sahabatnya. Apakah ia harus menjelaskan semuanya? Melihat kedekatan Keano dan Gabriel, sepertinya Desmond butuh bantuan Keano untuk proses hubungannya.

Dan di sisi lain, Gabriel berdiri menatap Keano yang mengelus pipinya dengan lembut. “Kalau gabisa ke kantor besok, istirahat aja,” ucapnya kepada Gabriel. “Gue bisa kok! Lo pikir gue masih sakit apa?” Keano tertawa mendengar celetuk Gabriel. Oh, ada Nata yang menunggu dan Keano harus pulang.

Keano kemudian berpamitan dengan senyum di wajahnya, menghampiri Nata dengan tas jinjing yang berada di tangannya.

“Ini langsung pulang kan ya?” Keano mengangguk, mengikuti langkah Nata keluar dari gedung. Selama perjalanan menuju mobil, Nata menceritakan semuanya tanpa pertanyaan dari Keano seperti darimana dia atau apa yang sedang ia lakukan sebelum ke rumah Gabriel.

“Adek kamu sakit?”

“Koma.” Nata menarik sabuk pengaman Keano dna memasangkannya. Ia mulai menyalakan mesin dan sepertinya Keano tidak memindahkan pandangannya dari Nata.

“Tapi kok kamu kayak baik-baik aja? Kamu gak khawatir?” Mobil perlahan berjalan dan Nata tertawa kecil. “Siapa bilang aku gak khawatir? Setiap detik aku khawatir.” Pandangan Keano kini berubah ke arah jalan yang berada di depannya.

“Gimana keadaannya?”

“Dia baik kok. Minus nya aku gabisa ngobrol sama dia.”

“Makanya kamu main ps sama Julian?”

“Kalau bukan Julian, siapa lagi?” Nata berucap dengan santai namun sepertinya Keano merasa bersalah. Jika bukan Julian, entah dengan siapa lagi Nata bermain. Keano? “Aku.” Keano menyeletuk.

“Kamu? Kamu mau main sama aku?” tanpa mengalihkan pandangannya, Nata bertanya.

“Why not? Kamu anak baik. Kenapa aku gamau main sama kamu coba?” Nata tersenyum. “Jadi kapan kita mainnya?”

“Besok.” Keano sangat spontan. Bahkan ia pun tidak tahu kenapa.

“Besok? Tiba-tiba?”

“Ajak aku ketemu adek kamu, Nat.” Nata sedikit menoleh namun ia menggeleng. “Engga,” jawabnya, “Rumah sakit yang adek tempati itu rumah sakit biasa. Banyak orang, kamu bakal gampang dikenalin sama orang-orang.”

“Aku yakin ga ada yang bakal ngenalin aku.”

“Kenapa begitu yakin?”

“Ada kamu,” ucap Keano. Nata menoleh sekali lalu pandangannya kembali ke jalanan. “Emangnya kenapa kalau ada aku? Ga otomatis semua orang minggir. Ada namanya handphone. Foto dari jarak jauh bisa dan itu bisa masuk media,” jawab Nata.

“Selama di deket kamu, aku yakin aku bakal ga apa-apa Nat.” Tapi apakah Nata baik-baik saja dengan hatinya saat ia berada di dekat Keano? Karena saat ini saja, jantung pemuda itu seperti berpacu layaknya mesin mobil yang ia tumpangi.

“Untuk ketemu adek, aku bisa bawa kamu setelah konser amal.” Nata mengalihkan pembicaraan. “Aku mau kamu fokus ke konser amal dan kolaborasi Desmond.”

“Desmond bilang apa?”

“Satu lagu setelah lagu pertama yang kamu bawain. Bisa kan?” Keano mengangguk atas pertanyaan Nata. “Itu permintaan Desmond atau permintaanmu Nat?” Keano memastikan. “Kenapa emangnya kok nanya gitu?”

“Kalau permintaan Desmond, aku bisa aja kolaborasi di lagu terakhir. Kalau permintaanmu, lagu kedua boleh. Bahkan semua lagu pun bisa.” Lagi, Nata ingin membanting stir namun ia tetap waras. Mengapa kata-kata seperti itu sangat berpengaruh terhadap hati kecilnya? Nata terlalu perasa namun ia tidak bisa membantunya.

“Kesepakatan kita berdua! Kamu berhak kok buat nolak.”, “Untuk Nata, aku gabakal nolak.” Entah itu perkataan jujur atau hanya bualan manis belaka namun yang pasti, Nata salting bukan kepalang dibuatnya.

Hatinya berbunga-bunga selama mengantar Keano pulang. Bahkan rasanya berat untuk menjemput Keano esok hari karena ia masih ingin tetap waras. Nata berusaha waras, berusaha tenang dalam pikiran, dan berusaha untuk menangkap semua perkataan manis Keano sebagai bualan belaka.

Keano menatap lurus kearah Nata yang sedang memesan makanan untuk mereka berdua. Bukan makan malam biasa namun Keano sepertinya ingin meluruskan perkataannya semalam. Entah mengapa namun Keano harus meluruskan itu dan membuat Nata nyaman saat bekerja dengannya.

Nata kembali dengan beberapa barang bawaan yang berada di tangannya dan duduk ber-sebrangan di hadapan Keano.

“Kamu boleh lepas masker tapi ngga buat topinya,” Ucap Nata karena fakta nya bahwa tempat makan yang Keano tunjukkan sedikit ramai.

Keano melepaskan masker nya kemudian meletakkan kedua tangannya yang saling mengait di atas meja, memajukan sedikit badannya lalu bertanya, “Kamu denger kata-kata semalam ya?”

Tentu. Nata mendengar semuanya. Harga dirinya sebagai manusia seperti hilang dalam kalimat Keano malam itu.

“Lupain aja. Aku ga ambil hati kok.”

“Kamu ambil hati. Sikap kamu dingin hari ini.”

“Terus kenapa kalau sikap ku dingin? Bukan berarti itu karena kamu kan?”

Keano memundurkan badannya dan menyender pada kursi.

“why you talk to me like that?”

“why can’t i talk to you like that?” Nada Nataliel ketus.

Benar. Keano harus menurut apa kata Nata saat ini jika berbicara mengenai kedudukan.

“Pertama, kamu ga ngasih tau tentang rap battle itu. Tanpa sepengetahuan manager mu. Aku gatau kabarmu dan lokasimu di mana. Kedua, terlalu larut. Ketiga, kamu gunain seserorang buat bahan taruhan.”

“Guess that’s why you mad at me.”

“Aku marah karena kamu langgar tiga peraturan sekaligus.”

“You mad because I talk shits about you, right Nataliel?”

Pandangan Nata tidak bisa ia kontrol. Benar-benar orang yang arogan dan tidak tau cara menghargai. Keano kini menampakkan wujud aslinya kepada Nata. Nata membuang muka namun Keano mengetuk tangannya dengan jari telunjuknya.

“Kamu bisa keluar kapanpun yang kamu mau.” Bisikan Keano membuat Nata kembali menatapnya.

“hah?”

“Ini hari ke … entah? People easily give up on me so you can go.”

Kembali, Keano menyenderkan tubuhnya menatap Nata dalam. Nata baru saja diremehkan dan total kesal kepada Keano. Tidak, ia merasa disakiti. Ingin rasanya Nata keluar dari pekerjaan ini namun ia membutuhkan uang. Keano berubah menjadi monster malam ini.

“Kalau aku keluar, siapa yang bakal nganterin kamu pulang larut sehabis* rap battle?*”

“Aku bisa sendiri.”

“Siapa yang bakal pesenin makananmu?”

“Easy.”

“Siapa yang—“ Sebuah cahaya menyilaukan sudut pandang Nata. Seseorang baru saja mengambil foto. Keduanya menoleh menatap orang itu namun tatapan Nata lebih tajam.

“Bisa gausah ambil foto?”

“Holy—gue ngefans—“

“Tapi ini di luar jadwal apa-apa. Mohon kerja samanya.” Nata masih menoleh ke arah pria tersebut.

“Kenapa gaboleh? Udah resiko dong? Lagian siapa yang ga kenal Holy?”

“Tapi tolong, ini jadwal—“

“Heh, lo siapanya?” pria satunya menyahut namun lebih kasar nadanya.

“Tolong ya, untuk kali ini gaada foto Holy.” Nata berucap sembari mendorong masker Keano dengan pelan ke arahnya. Keano hanya menatap Nata yang sepertinya masih berdiskusi dengan beberapa pria di depannya.

“Gue tanya lo siapa!” teriakan salah satu pria membuat seisi ruangan sedikit terkejut. Nata tidak tinggal diam. Ia berdiri lalu menghampiri meja mereka.

“Gue manager Holy dan gue berhak buat bawa kalian ke hukum. Ini termasuk privasi!” Nata merampas handphonenya namun beberapa pria dengan sigap berdiri mengancam Nata. Keano tak tenang. Saat Nata tau bahwa Keano ingin beranjak, Nata mengisyaratkan bahwa lebih baik diam di tempat.

“Kenapa lo main rampas gini?!”

“Hapus foto Holy yang ada di hape lo.”

“Mending kita ngobrol di luar oke?” salah satu pria kembali menyeletuk.

“Hapus.”

“Kita hapus di luar.”

“Sekarang!” Nata berteriak dan membuat pria yang tadinya berdiri langsung menarik baju Nata. Refleks Nata menepis tangannya dan Keano tidak tinggal diam kali ini. Ia beranjak namun Nata sadar dan menoleh menataop Keano tajam. Ia kembali ber-isyarat bahwa Keano seharusnya duduk saja dan tidak melakukan apa-apa. Nata kembali menatap pria-pria itu lalu berkata, “Kita diskusi di luar.” Nata menarik kerah baju pria itu lalu membawanya keluar. Keano sangat ingin menghampirinya namun Nata sepertinya tak ingin melibatkan Keano dalam hal ini.

2 menit. 5 menit. 10 menit namun Nata belum kembali. Makanan di depannya membuat Keano sangat khawatir. Ia tidak bisa tinggal diam. Memang tugas Nata untuk melindunginnya namun siapa yang akan melindungin Nata kalau bukan dirinya. Saat hendak beranjak, Nata kembali dan langsung mengambil tempat duduk di depan Keano.

“Nat?” mata Keano sedikit membulat dengan beberapa luka di wajah Nata.

“Makan aja, abis ini kita langsung pulang.”

“Muka kamu—“

“makan aja!” bentakan Nata membuat Keano terdiam.

Sadar akan ia membentak artisnya, Nata mengangkat pandangannya dan menatap Keano. “Kalau ada yang foto kamu tanpa izin dan bertindak ga sopan, siapa yang bakal mukulin mereka?”

Keano sadar bahwa ia membutuhkan Nata namun ada satu hal yang harus ia pastikan.

“Siapa yang bakal lindungin kamu?” Keano menjawab dengan pertanyaan.

“Pertanyaan bukan jawaban dari pertanyaan.”

“I want to protect you too and Nat, I’m so sorry about last night.”

Sudah cukup hari sial bagi Nata. Hari ini dan kemarin malam. Ia hanya ingin fokus pada kerjaan nya, bukan hal yang lain.

“Nat?” mata Keano jelas khawatir. Ia terus memandangi wajah Nata.

“I’m here because I want to. I need money. Kamu gabisa suruh aku berhenti. I hope you understand that.”

“And I guess I couldn’t do anything right without you so … I’m sorry for my words.”

“Lupain aja. I’m still your manager.”

“Nat, lukamu …”

“Stop worrying, I’m fine.”

“It’s not. Kamu .. mimisan..”

Nata tidak sadar dan saat jarinya menyentuh hidungnya, terlihat sedikit darah yang mengalir. Keano langsung mengambil tisu dan membantu Nata untuk menyumbat darahnya. Matanya masih khawatir dan Nata kembali dalam perangnya. Hatinya berdegup kencang, bukan hal yang ia harapkan datang sekarang.

“Kita pulang.” Keano kembali memasang masker nya dan matanya terlihat jelas bahwa ia memandangi Nataliel selama 5 menit tanpa henti.

Nataliel dan Keano memasuki studio bersamaan dengan Keano yang membawa sebuah bantal di lengan kanannya. Seperti yang ia katakan bahwa ia harus membawa untuk jaga-jaga, sepertinya Nataliel tidak terlalu membutuhkannya. Di dalam studio yang ukurannya tidak terlalu kecil bahkan tidak terlalu besar, cukup untuk 4-5 orang, Keano mengatakan bahwa ini adalah studio pribadinya. Nata lalu menatap beberapa akanan yang ia beli tadi. Kini ia berfikir, bagaimana cara menghabiskannya?

Nata duduk mengambil tempat di sofa bagian belakang kursi kerja Keano sedangkan Keano mulai mempersiapkan alat-alatnya. Ia hanya menatap Keano tanpa sepatah kata apapun. Pria itu sepertinya sangat teliti, mencoba beberapa alatnya sebelum menggunakannya. Tidak ada raut lelah di wajahnya dan hal itu membuat Nata bingung. Apakah pria itu benar-benar manusia? Terlepas dari wajahnya yang kadang membuat Nata salah tingkah, Keano benar-benar jarang menunjukkan ekspresi apapun selain tersenyum.

Keano kemudian duduk setelah mengecek semua peralatannya. Apakah ia lupa kalau saja Nata berada di satu ruangan dengannya? Berbalik saja pun tidak. Tapi Nata tidak mengambil hati, ia justru menggeser tubuhnya untuk melihat lebih jelas layar monitor yang sedang dikerjakan Keano. Tentu ia tidak mendengarkan apapun karena Keano saja telah menggunakan headphone.

2 menit hingga 10 menit terasa membosankan saat keano tidak bergerak sedikitpun dari tempat duduknya. Nata kini sudah berbaring sedari tadi, menatap minuman yang ia beli dengan gelas yang basah. Air mengalir dari luar karena permukaan dingin dari es, se membosankan itu. Matanya kemudian berpindah ke Keano dan pria itu masih tidak bergerak. Sepertinya, bantal yang Keano bawa berguna kali ini. Nata mengambil lalu memeluknya. Berencana untuk meemjamkan matanya sebentar namun sepertinya satu jam adalah waktu yang lama untuk memejamkan mata.

Matanya terbuka saat ia tidak sengaja mendengar sebuah botol jatuh dan nampak Keano tengah duduk menghadap dirinya dengan minuman di tangan kanannya.

“Bosen ya?” Nata langsung bangkit untuk mengumpulkan nyawanya setelah tidur.

“Udah selesai?” ia bertanya sembari menguap. Keano menggeleng dan sedikit menoleh menatap monitornya.

“Ada beberapa part yang harus diulang. Kamu ini gak makan cemilan nya ya?” tanya Keano kembali. Benar saja bahwa Nata tidak menyentuh apapun yang berada di meja setelah mereka sampai. Namun perasaannya kini sepertinya tidak meyakinkan. Kepalanya terasa pusing akibat tidur malam yang hanya sejam saja.

“Engga, aku tadi nunggu kamu cuman ketiduran aja.” Saat Nata bersender di sofa dan memejamkan matanya, Keano merasa ada yang salah.

“Kenapa?”

“Hah? Engga kok. Gapapa..”

Sepengalamannya, tidak apa-apa berarti ada apa-apa. Nata masih memejamkan matanya dan sedikit memijat pelipisnya. Karena Keano merasakan sesuatu yang mungkin membuat Nata kurang nyaman, ia kemudian berbalik dan kembali mengotak-atik komputernya.

“Ruang kesehatan di bawah masih buka gak?” tanya Nata kepada Keano.

“Gak yakin masih buka karena ini udah jam 2 pagi.”

“Apotik—JAM 2 PAGI?” suara Nata sedikit keras dan membuat kepalanya makin penik. Keano menoleh sedikit lalu berkata, “Iya jam 2. Kamu kenapa?”

“Aku kayaknya butuh obat. Kepalaku pusing,” ucap Nata.

Keano benar atas perkiraannya. Apa yang ia lakukan di monitor sedari tadi adalah menyimpan semua file yang ia kerjakan malam ini dan memutuskan pulang lebih cepat. Baginya, Nata masih harus belajar atas kondisi namun ini kali pertamanya dan tidak ada salahnya untuk pulang lebih awal. Keano berdiri lalu mulai membereskan makanan yanng berada di meja.

“ini bawa pulang aja. Kita pulang sekarang.” Nata hanya mengangguk dan meraih kunci mobil yang berada di atas meja. Namun, Keano meraihnya terlebih dahulu membuat Nata menatap Keano dalam kebingungan.

“Kamu lagi pusing. Aku gamau kamu yang nyetir.”

“Gak terlalu berat kok ini, sini aku aja.”

Keano tidak peduli dan justru tersenyum memasukkan kunci mobil tersebut kedalam saku celananya.

“Ada apotik 24 jam dekat sini. Pack your bag we’re going home.

Tidak menolak, Nata memang sepertinya tidak kuat untuk menyetir dan kini jantungnya berdegup kencang. Perhatian yang diberikan Keano berbeda saat ia mengetahui bahwa Keano adalah arti yang disegani. Bahkan sahabatnya sendiri mengakui bahwa HOLY yang sekarang berada di depannya adalah orang yang paling keras dan arogan. Namun di mata Nata, HOLY dan Keano adalah malaikat yang sengaja Tuhan kirimkan padanya. Like Shakespeare says on All’s Well That Ends Well, love is holy.

Jimin memasuki ruang kafe dan Namjoon menyambutnnya dengan mengangkat tangannya sebagai penanda bahwa Jungkook dan dirinya sedang duduk di kursi pojok. Jimin langsung mengambil tempat duduk di depan Jungkook saat Namjoon melarang mereka untuk duduk bersampingan.

“Nope.”

Raut wajah sang manager mengisyaratkan mereka untuk tidak berinteraksi secara berlebih terlebih dahulu karena mereka sedang berada di ruang publik. Jungkook hanya tersernyum menggoda Jimin dan begitupun sebaliknya. Tidak ada percakapan yang intens, hanya percakapan; “enak kopinya?”, “Pesan apa?” namun raut wajah mereka saling menggoda satu sama lain.

Tangan Namjoon kembali ia angkat saat ia sedang mengunyah sesuatu.

“Yoongi!” panggil Namjoon. Jungkook dan Jimin serentak menatap Yoongi yang mendekati meja mereka dan duduk tepat di sebelah Jungkook. Jimin masih memasang senyumnya dan berbasa-basi dengan mudah kepada Yoongi sedangkan Jungkook sudah kehilangan senyumnya saat Yoongi duduk di sampingnya.

“Bagaimana progress lagunya?” tanya Namjoon kepada Yoongi.

“50%, dan mungkin bakalan jadi kok sebelum tur. Gue yakin itu,” balas Yoongi sambil menyesap kopi yang ia pesan tadi.

Jimin hanya menyantap makanannya dengan hati dalam keadaan baik sedangkan Jungkook merasa aneh berada di samping Yoongi.

Perdebatan beberapa hari sebelumnya sedikit membuat dirinya canggung jika berada di samping Yoongi.

“Jadi nanti ada sesi rekaman?” tanya Jungkook berusaha menghilangkan rasa canggungnya.

“Jadi. Tapi gue cuman butuh beberapa dulu buat demo. Masih gue halusin juga ini,” ucap Yoongi dengan raut wajah yang biasa saja. Jimin yang sepertinya peka terhadap Jungkook merasakan sesuatu yang aneh terhadapnya. Ia kemudian sedikit memajukan tubuhnya lalu berbisik, “Koo, you okay?”

Sangat berusaha agar tindakannya tidak terlalu memakan perhatian, Jungkook tersenyum sambil menatap Jimin. Ia kemudian membalas bisikan Jimin dengan berkata, “Mau aku pesenin apa? Kamu cuman minum tadi. Roti?”

Jimin menggeleng lalu kembali berbisik, “Ada roti kamu, aku makan roti kamu aja.”

“Roti yang mana?”

“Hahaha kook..you know wich bread is?”

Mereka saling berbisik dan Namjoon hanya menggeleng mendengar bisikan mereka.

“Kalian bener-bener. Jimin lo beneran gamau roti?” tanya Namjoon kepada Jimin.

“Biar gue aja yang pesen.” Jimin hanya tersenyum dari gelak tawanya tadi. Ia kemudian bangkit dan menuju kasir untuk memesan satu roti lagi.

Kali ini, Namjoon tidak mengangkat tangannya saat seseorang masuk kedalam ruangan.

“Gyu? Hey!” sapa Namjoon kemudian berdiri dan membalas pelukan Mingyu sebagai sapaan.

“Long time no see, kook, oh yoongi?” senyumnya merekah saat melihat Yoongi yang duduk di sebelah Jungkook. Mingyu duduk tepat di mana Jimin duduk sebelumnya lalu kemudian melontarkan pertanyaan, “Beneran balikan nih?”

Namjoon tersedak saat pemuda itu dengan entengnya mengeluar kata ‘balikan’ di hadapan Jungkook dan Yoongi yang notabenenya sudah canggung sedari awal.

“Oh? Kita—“ omongan Yoongi terputus saat Mingyu langsung berkata, “Kalian cocok. Serius. Yoongi take care of you so well kook, Yoongi? Punya support system yang bagus. Cocok cocok.”

Tidak ada senyum dari Jungkook. Matanya justru menatap Jimin yang sepertinya berjalan ke arah mereka.

“Gyu, that’s someone’s seat..actually..” Jungkook menunjuk kursi yang Mingyu duduki dan nampaknya pemuda itu sedikit kaget saat Jimin berada di sampingnya dengan nampan berisikan roti isi.

“Oh, sorry sorry..gue cuman mau duduk di depan pasangan baru ini.”

Shit, Jimin mendengarnya dan tatapan Namjoon sangat buruk.

“Jadi—“

“Kenalin dulu Gyu, Jimin. Video director buat tur kali ini.” Untuk menghentikan omong kosong pemuda itu, Namjoon mengalihkan pembicaraan.

“Oh, hi cutie, Kim Mingyu. You’re the luckiest soalnya pernah pacaran sama Jungkook. But sorry for your lost, Yoongi won now,” ucap Mingyu dengan senyum masih terpapar di wajahnya. Raut wajah Jimin semakin buruk. Ia hanya menatap Jungkook sesekali kemudian menatap Yoongi.

“Hi gyu, gue udah denger lo kok. Lo terkenal dan ex-member di grup Jungkook kan dulu?”

“hahahaha you know me, so, have a plan for Sunday night?”

“Gyu—“ Jungkook ingin berbicara namun Mingyu langsung berkata,

“kalau ga, gue boleh ajak jalan sebelum gue balik ke jepang? No worries, media ga terlalu suka sama gue.”

Namjoon sedikit kesal, rahangnya mengeras saat ia menatap Jungkook yang berusaha untuk mengatakan sesuatu dan Mingyu yang terus-terusan menggoda Jimin dengan mudahnya.

“Sorry tapi gue harus kerja, editing dan sebagainya.” Jimin menolak memberi kelegaan kepada Jungkook namun hatinya sedikit kesal saat mendengar kata bahwa Jungkook dan Yoongi pernah berhubungan.

“Gue gabisa maksa sih. Tapi gue janji bakal ajak lo jalan, gimana gimana?”

“Gue gabisa, gue sibuk—“

“Gyu,” ucap Jungkook memotong perkataan Jimin.

“Ada event apa di sini?” lanjutnya mengganti obrolan.

“Tadi gue wawancara radio dan beberapa hari kedepan ada shoot buat brand. And they asked about your relationship with Yoongi, how strange but I said yes you guys are dating—“

“Wait.” Kini Namjoon yang memotong pembicaraan MIngyu. Wajah MIngyu menjadi bingung.

“Lo bilang apa ke radio?”

“Mereka cuman nanya apakah kalian se deket itu dan ya gue iyain? Kalian bener deket kan?”

Jawaban yang Jimin ingin dengar ialah ‘tidak’ namun Yoongi mengatakan sebaliknya. “Kita emang deket sebagai artis dan produser, apa yang lo harapkan?”

“Yaa..more than that?”

“There’s no more than that..” ucap Namjoon berusaha membantu.

“But you look good with each other? I mean.. jungkook sayang banget sama lo dulu Yoon. So why not?”

“Jungkook artis gue Gyu, he’s not dating with anyone.” Sangat tegas Namjoon mengatakan hal itu kepada Mingyu.

“Not any-“

“He’s not on dating. You hear me?”

Kalimat itu terus berulang sampai membuat Jimin muak. Ia harus tetap diam dalam pembicaraan atau Jungkook akan terkena masalah. Ia tidak bisa berlama-lama lagi dan memutuskan untuk pergi.

“Sorry tapi gue harus ngedit beberapa video dulu. Gue pamit ya, joon, yoon, gyu, kook..”

Ia hanya berlalu begitu saja. Semuanya terdiam sepersekian detik. Saat Jungkook segera ingin menghubungi JImin, ia baru sadar bahwa Jimin tidak memberikan handphonenya setibanya Jimin di kafe. Kini ia hanya menunduk, berusaha berfikir ia harus menghadapi Jimin entah bagaimana.

Jungkook membuka matanya perlahan, rasanya sama seperti bangun tidur namun tubuhnya terasa lemas. Ia menoleh saat suara seseorang yang sedang bergumam di sebelahnya. Yoongi duduk bersila di sampingnya, di dalam ruangan latihan hanya sisa mereka berdua namun Jungkook tidak tau apa tujuan Yoongi berada di ruangan ini.

“Udah bangun?”

Yoongi bertanya kemudian memindahkan handphone yang ia maini sedari tadi. Ia menunggu Jungkook terbangun kurang lebih dari 30 menit. Jungkook terbangun duduk menatap wajahnya di cermin yang berada di depannya kemudian.

“udah jam berapa?”

“sebelas.”

Seharusnya, Jungkook sudah pulang sejam yang lalu. Ia tidak dapat menemukan handphonenya di sekitar namun Yoongi mengisyaratkan bahwa benda yang ia cari berada di sofa tunggu di sudut ruangan.

“Gaada air mineral atau cemilan di sini. Ga makan lagi sebelum latihan?” tanya Yoongi masih berada di tempatnya.

“Makan sebelum latihan gabakal bikin berat gue turun.”

“Namjoon udah pulang?”

“Gue suruh pulang,” ucap Jungkook malas. Bukan karena apanya namun itu karena energi yang entah mengapa rasanya sangat terkuras.

“Lakuin defisit kalori yang tepat. Lo juga gak makan siang, mau sakit lagi?” nada kekhawatiran Yoongi mulai muncul. Bagaimana tidak, artisnya kini kembali memulai diet ekstrim untuk tur nya.

“Gue cuman ketiduran, kecapean. Lo sendiri kenapa di sini?”

“Ruang latihan nyala se terang ini dan gue bisa jamin yang di dalem ruangan itu lo sih.”

“Terus?”

“Jeon jungkook,” ucap Yoongi kemudian menoleh menatap pemuda itu dalam. “You’re too hard to yourself, gue tau jeon jungkook dan lo sendiri. Staff udah banyak yang pulang.”

Perkataan Yoongi hanya menjadi angin lewat bagi Jungkook. Ia menanamkan pada dirinya tentang apa yang harus ia capai sebelum tur mulai. Ia harus bisa mencapai semuanya dengan sempurna.

“Makasih atas perhatiannya, gue juga mau pulang habis ini.” Jungkook beranjak, meninggalkan Yoongi yang masih duduk menatap kepergiannya.

“Gue gak ngomong ini bukan ada alasan, you’re my artist so I should take care of you,” ucap Yoongi kemudian. Jungkook menoleh menatapnya setelah ia meraih tasnya dan bersiap untuk pulang . “What do you expect then? Gue baper?” nadanya ketus. Jungkook sudah membuang semua perasaannya terhadap Yoongi bertahun-tahun setelah mereka berakhir namun entah mengapa Yoongi kini terlihat menarik Jungkook kembali kemudian melepaskannya jika Jungkook sudah berada di genggamannya. Bukan tanpa alasan Jungkook berfikir seperti itu, Yoongi melepaskannya begitu saja saat direktur utama berkata bahwa karir Jungkook akan berakhir jika Yoongi tidak mengakhiri hubungan mereka. Yoongi tidak berfikir panjang dan pada malam itu juga, ia melepaskan Jungkook.

“Gaada yang bilang gue mau baperin lo. You should eat more, you can’t even thinking straight kiddo.” Yoongi tidak kalah ketusnya. Ia bangkit dari duduknya dan saat itu pula Jimin masuk ke dalam ruangan dengan wajah yang sangat khawatir.

“Bunny, you okay?” ia langsung menghampiri Jungkook dan memeluknya. Pemandangan yang Yoongi saksikan seperti membawa mereka kembali ke memori yang lama.

“Ini aku mau pulang, kok kesini?” Senyum Jungkook merekah saat menatap wajah Jimin.

“Telponku ga diangkat sama sekali—Yoongi, Jungkook gapapa kan tadi?” JImin mengalihkan wajahnya ke arah Yoongi.

“Gapapa, tapi dia harus makan banyak. Kayaknya pikirannya juga harus dijaga,” ucapa Yoongi menjadi penutup perbincangan mereka senelum pemuda itu meninggalkan ruangan terlebih dahulu. JUngkook hanya menatapnya sekilas kemudian kembali memeluk Jimin.

“Khawatir ya?”

“Banget banget. Kamu udah makan? Aku masak-“

“Aku mau istirahat aja ya? Kamu belum masak kan?”

“aku udah—Jeon jungkook aku udah masak!” suara Jimin kini seperti menggertak namun ia tidak sekesal itu.

“Ayo pulang, makan, aku udah masak masakan yang gabakal lebih dari jumlah kalori harian kamu jadi gaperlu khawatir untuk diet, okay?” Jungkook hanya mengangguk dengan senyum di wajahnya. Seperti ia sedang menghibur diri dan menghibur Jimin yang nampaknya kesal mengetahui bahwa Jungkook belum memasukkan apa-apa kedalam perutnya sejak siang. Raut wajahnya seakan mengejek namun Jimin hanya mencubit perut pemuda dengan gemas.

“Aku bakal jaga makan mu bukan berarti tidak makan sama sekali. you’re gonna lose weight but in a healthy way.” Jimin memastikan bahwa keaksihnya itu tidak kekurangan gizi atau kekurangan energi selama beberapa minggu kedepan. Jungkook menjadi prioritas utamanya sekarang dan Jungkook berusaha mengimbangi dengan tujuan kesempurnaannya.

Bintang menginjakkan kakinya sendirian di festival malam ini saat tara tidak menjawab panggilan telfonnya dan Arga berjanji akan menyusulnya. Belum ada rasa kecewa yang muncul, Bintang justru seperti tidak peduli bahkan ia mencoba beberapa jajanan malam yang ia lewati. Malam yang sedikit ramai, Bintang mengunyah makannnya sambil meunggu gilran band kesukaannya itu. Tanpa tau bahwa Dias lah yang menyarankan semua lagu yang akan ia bawakan malam ini. Dias berkata pada Bintang bahwa ia tidak akan hadir malam ini karena Bintang yang menabraknya saat di kampus. Dias berbohong, ia bisa melihat Bintang dengan jelas di atas panggung.

Cahaya yang menerangi ptenonon namun matanya terkunci pada sosok Bintang yang berada jauh dari panggung. Bintang menunggu kehadiran Tara dan lagu pertama sudah Dias mainkan.

Jari-jarinya bergerak, Dias menatap seluruh penonton dengan duras sedtik namun matanya sangat sulit berpindah saat ia melihat Bintang di sana. Ikut bernyanyi mengiktui alunan lagu, wajahnya berseri tersenyum, untungnya Bintang menyukai penampilan band nya.

“And I will gladly break it, I will gladly break my heart for you”

Dias menatap Bintang tanpa henti saat Bagas bersenandung. Matanya tak lepas, teriakan namanya ia tidak perdulikan. Malam ini ia memandangi bintang yang paling terang. Tak sedetik pun matanya berpindah sampai dengan ke penghujung lagu.

Dias menyapa seluruh penonton saat mereka ingin memulai memainkan lagu ke dua. Bintang menyapa Tara yang sepertinya berada tak jauh darinya. Ia berusaha melewati beberapa penonton yang berdesakan dan dias tidak melepas pandangannya.

“Tara!” teriaknya. Namun Tara tidak mendengar. Bintang sedikit lagi dekat dengan Tara namun alunan gitar Dias mulai terdengar, lagu kembali diputar.

“And if I was a fool for you, I'd wait 500 million hours”

Dias memainkan gitarnya dengan sesekali memetiknya dengan kuat. Adimas yang menyadarinya sedikit terkejut namun pertunjukan tetap berjalan. Bintang tidak memperhatikan lagunya lagi melainkan ia berusaha untuk menghampiri Tara yang sepertinya matanya tak berpindah ke arah panggung.

“Tara!!!”

Suara alunan musik sangat keras, Bintang kini berada di samping Tara. Dengan senyum manis ia menyapa Tara yang menoleh menatapnya.

“I fell in love with Alexandra, even though I barely met her. Even though we'd break our hearts, before we'd even start”

Senyum yang harusnya Dias dapatkan, Tara menerimanya. Lagu demi lagu Dias bawakan, berusaha agar pandangannya tidak selalu mengarah ke Bintang dan Tara yang sedang berdiri bersebelahan menikmati pertunjukannya. Dias hanya penghibur bagi mereka yang sedang jatuh cinta, gagal cinta yang ia rasakan tidak boleh menjadi perusak pertunjukannya.

Detik-detik lagu terkahir dimainkan, Dias tidak lagi menatap Bintang dan Tara. Sebaliknya, Bintang memandangi Tara yang sama sekali tidak berbicara padanya dari awal lagu ketiga. Terasa aneh bahwa ia memberikan ciuman pertamanya kepada Tara namun Tara tidak berbicara sepatah kata apapu kepadanya.

“kamu baik?!” Bintang berteriak agar Tara mendengarnya namun Tara mengangguk dan langsung menarik Bintang keluar dari kerumunan. Berjalan sejauh mungkin dari sumber musik agar mereka bisa berbicara tanpa berteriak.

“kenapa? Kamu mau pulang ra?” tanya Bintang.

“Lo sama siapa ke sini?”

“Sendiri. Aku kira kamu bakal jemput aku, tapi gapapa. Aku dapet lagu pertama kok!” Bintang sangat riang sedanhkan Tara seperti gelisah akan sesuatu.

“Nonton aja ya? Gue mau jalan ke tempat lain,” ucapnya sambil melihat sekitar. Bintang tidak tau apa maksudnya namun Tara seperti membuatnya kesal.

“Loh? Bukannya-“

“Gue jalan sama pacar gue soalnya,” ucap Tara yang membuat Bintang diam seribu bahasa.

Apa arti ciuman dan tiket yang Tara mati-matian dapatkan? Tidak. Kekasih Tara lah yang memberikannya secara Cuma-Cuma karena ia merupakan panitia festival. Ingin mengelak namun Bintang tidak mempunyai alasan yang jelas. Bau alkohol yang ia cium saat Tara menciumnya tidak bisa menjadi bukti, ia tidak ingin semuanya menajdi masalah.

“Oh—iya..iya gue mau nonton kok.” Bintang berbalik. Menatap seluruh penonton yang riuh bernyanyi bersamaan dengan cahaya lampu sorot yang menyinari pada anggota band.

“But I crumble completely when you cry”

Bintang hancur. Saat Arga menemukannya berdiri di belakang penonton yang melompat menikmati lagu, Bintang justru menghindar. Ia menghilang di antara orang-orang yang berjalan. Bintang berusaha untuk tidak menangis. Alunan musik yang tadinya terdengar mulai memudar. Ia meninggalkan konser dengan perasaan yang hancur. Dadanya sangat sesak. Bintang tidak memperdulikan apa apa lagi. Tara membuangnya begitu saja. Percintaannya sangat buruk, Bintang rasa ini tidak adil.

Bintang berhenti berjalan saat ia melihat seseorang berdiri di depannya. Dias dengan kaos hitam dan jaket kulit, wanginya sangat semerbak. Semua cincin dan gelang di tangannya, Dias berlari secepat mungkin setelah pertunjukannya untuk mengejar Bintang yang meninggalkan area musik.

Bintang sadar akan sesuatu saat Dias memegang sebuah topeng di tangan kanannya.

“Kak?”

“Mau pulang?” Nafas Dias masih sedikit tersenggal. Bintang berusaha percaya bahwa Dias adalah anggota dari band kesukaannya. Semua keringat itu menjadi bukti, pakaian dan akseseorisnya. Dias menarik Bintang menuju parkiran dan langsung menyalakan motornya. Langkah Bintang terhenti saat Dias mulai menaiki motornya.

“Ayo? Pulang,” ucap Dias.

“Kak Dias ngapain?”

“Mau nganterin lo pulang, Bintang—“

“Kak Dias anggota—“

“ayo pulang.” Dias memberinya sebuah helm dengan perlindungan penuh, Bintang memakainya. Ia benar-benar ingin pulang. Tanpa basa basi ia langsung naik ke atas kendaraan dan Dias segera melaju dengan kecepatan sedang.

Malam sedikit sunyi dan Bintang akhirnya bisa menangis tanpa ada orang yang menegurnya. Sepanjang perjalanan, tangannya meremas erat jaket kulit Dias dan ia terisak sangat kuat. Bohong jika Dias tidak sadar akan hal itu, Dias memberhentikan perjalanannya dan kemudian turun dari kendaraannya. Melepas helmnya tanpa berbalik menatap Bintang yang masih duduk di atas jok motor.

“nangis aja, gue gak liat.”

“Aku kayak mainan kak..” Bintang masih menangis tanpa melepaskan helm yang ia gunakan itu. Suaranya sedikit tidak terdengar namun dias masih bisa mendengarnya.

“Aku kira dia suka sama aku…”

“you can’t trust people, Bintang. Kisses can lie too.”

Dias tidak tega untuk berbalik. Suara isakan Bintang makin terdengar. Ingin rasanya memeluk Bintang namun ia sendiri bingung dengan apa yang tubuhnya rasakan.

“Jadi siapa yang harus aku percayai kak? No one will love me..”

Dias yang mencintai Bintang. Bintang akan terus menjadi Bintang kesayangan Dias. Mendengar isakan Bintang setelah berhadapan dengan cerianya membuat Dias sangat sakit. Ia berbalik lalu menghampiri Bintang.

“Kisses can lie but I can’t. I like you so much, Bintang. You’re my favorite star.”

Tanpa melepas benda di kepala Bintang, Dias mengecup bagian keningnya dengan lembut, membuat Bintang sedikit diam. Kecupan agak lama, mata dias terpejam merasakan kasih sayangnya tersalur kepada Bintang. Saat ia menjauhkan wajahnya, Bintang masih terdiam.

“Jangan lepasin helmnya. Ayo pulang.”

Dias langsung memakai helmnya dan mengantarkan Bintang pulang ke rumahnya. Wajah Bintang masih memanas, ia menangis kemudian mendengar kata-kata Dias yang mengatakan bahwa ia menyukainya, Bintang merasakan sesuatu lain berbeda saat Tara menciumnya. Kasih sayang ini, Bintang dapat merasakannya.

Tidak ada obrolan lagi malam itu. Sagara sibuk dengan kegiatannya bersama teman-teman di luar ruangan sedangkan Bastian sibuk mengalahkan Tama dalam permainan Playstation di ruang tamu. Seperti malam tahun baru, pesta kecil-kecil an di rumah Sian sangat meriah dengan gelak tawa pemuda-pemuda dan teriakan Sian jika Tama berhasil mengalahkan Bastian.

Mereka berdua seperti melupakan hal yang telah terjadi tadi sore, bahkan tidak ada narasi yang pas untuk menggambarkan kedekatan mereka saat ini. Mereka benar-benar sudah jauh, tidak ada lagi Sagara dan Bastian yang saling mengganggu satu sama lain. Sagara berada di dunianya, begitupun Bastian.

Namun, Sagara sesekali mencuri pandang ke arah Bastian saat mengambil sesuatu di dalam ruangan, Bastian yang sedang tertawa melihat Tama dan Sian saling mengumpat satu sama lain. Tidak ada tegur atau sapa, hanya memandang. Senyum Bastian masih sangat manis bagi Sagara walaupun Sagara tau bahwa Bastian mengalami hari yang sangat buruk terlihat dari matanya.

Malam terus berjalan dan kedua insan itu terus berusaha menjaga jarak. Berusaha untuk tidak melakukan kontak mata, mereka menanamkan kepada diri sendiri bahwa orang yang mereka hindari tidak ada. Hal yang sangat sulit untuk dilakukan namun itu lah yang menjadi putusan akhir yang mereka sepakati. Bastian teringat bahwa mau tidak mau ia harus meminta maaf untuk terakhir kalinya kepada Sagara namun nampaknya Sagara sengaja menjauh.

Setiap Bastian masuk ke ruangan yang dimana ada Sagara, Sagara terus menghindar, berusaha keluar dari ruangan tanpa mengatakan apapun dan Bastian paham akan hal itu. Jika ia menjadi Sagara, ia juga akan melakukan hal yang sama, menghindari orang yang menyakitinya.

Malam sudah mencapai batasnya, udara mulai menjadi sejuk, jam menunjukkan pukul 2 pagi. Beberapa dari mereka sudah tertidur pulas akibat alkohol yang mereka konsumsi. Bastian berjanji akan pulang malam ini setelah ia menghabiskan satu botol minuman yang berada di sampingnya. Ia duduk menyender di bawah kursi, memandangi langit malam tanpa bintang itu, sangat sunyi. Ia merasa sangat tenang, tidak ada suara selain suara hewan-hewan kecil yang masih terbangun. Bastian bersama pikirannya.

Bastian harusnya menenangkan pikirannya terlebih dahulu sebelum berbicara dengan Sagara sore tadi. Ia mengambil keputusan sangat cepat namun ia berfikir bahwa lebih baik berakhir cepat daripada ia terus menerus bertindak semena-mena kepada Sagara. Tidak ada pekerajaan untuk bulan ini, percintaannya gagal, mungkin takdir pikir Bastian dan ia berusaha melapangkan dadanya.

Setengah botol lagi dan Bastian akan pulang. Ia memejamkan matanya, menyenderkan kepalanya di kursi berusaha untuk tetap sadar. Entah kapan terakhir kalinya Bastian berada di bawah pengaruh alkohol, ia sudah lupa.

Dan kini, Sagara menghampiri Bastian yang sedang memejamkan matanya. Pipinya memerah, mungkin Bastian sudah terlelap. Melihat posisinya kurang nyaman, Sagara dengan sangat pelan duduk di samping Bastian dan mengarahkan kepala Bastian untuk beristirahat di pundaknya. Memang benar bahwa mereka berjanji untuk tidak peduli terhadap satu sama lain tapi Bastian sudah tidak sadar, besok ia akan melupakan hal ini.

“Bukan mauku buat diemin kakak, tapi aku berusaha buat jadi orang kuat di depan kakak,” gumam Sagara sembari memandangi wajah Bastian yang seperti terlelap.

Ia kemudian menatap langit yang sama, tidak ada bintang dan malampun semakin sangat tenang. Ini adalah terakhir kalinya Bastian tertidur di pundaknya dan Sagara memiliki semua kesempatan untuk berbicara pada sang langit.

“Aku pacarin orang yang paling kuat yang pernah aku temuin. Bahkan aku pun kalah, aku ga berani nonjok Nathan tapi kakak berani. Aneh tapi aku iri sama pacarku sendiri,” ucap Sagara kembali sembari tersenyum. Mengingat bahwa Bastian memang lebih kuat darinya dan di sisi lain, Bastian sangat patuh padanya.

“Aku nangis pas abis nganterin kakak ke bandara sewaktu di paris. Kalau aku nangis di depan kakak, kakak bakal nonjokin aku kan? Malu maluin katanya.” Sagara berusaha menahan air matanya. Entah perasaan apa yang membuatnya sedikit sedih, rasanya sangat salah. Mencoba menjadi kuat juga rasanya salah dan ia merasa bahwa tidak ada kesempatan lagi.

“it is true that your beauty amaze me but your kind heart, I don’t know. Aku yakin aku gabisa dapetin hati seperti kakak. I’m so sorry,” ucap Sagara mulai terisak. Ia berusaha keras untuk tidak membangunkan Bastian yang masih menyender di bahunya.

“I’m so sorry, I like you a lot, kak Tian. I love you so much..”

“Saga, thank you so much.”

Bastian terbangun, ia masih menyenderkan kepalanya pada bahu Sagara. Sagara makin terisak, ia berusaha keras namun nampaknya Bastian terbangun karena tangisannya.

Bastian mengangkat kepalanya dan berbalik memandangi Sagara yang sedari tadi mengusap wajahnya. Tangannya perlahan menghapus jejak air mata itu, senyumnya sangat hangat.

“Jangan nangis, jelek.” Bastian sangat halus namun Sagara tak berani mengangkat wajahnya untuk menatap Bastian.

“I’ll pretend that I didn’t hear that. I’m sorry too, baby. Aku terlalu memaksakan,” ucap Bastian berusaha menenangkan Sagara. Ibu jarinya tak berhenti mengusap pipi pemuda di depannya itu.

“Aku—“

“Kak Tian, you did well today, yesterday, and tomorrow. Kamu bisa atasin semua masalah ini, that’s why I like you. Kak Tian itu panglima, gaada putus asa dalam hidup kak Tian.”

“Saga, its nothing—“

“Its something. And please, aku gatau kak Tian sober atau engga tapi I’ll be a crazy guy for you. Can we fix this? I can’t lose you, kak Tian.”

Bastian sedang tidak mabuk sekarang. Alkohol dalam satu botol tidak melemahkannya. Semua ucapan Sagara ia bisa serap dengan baik. Sama, Bastian tidak bisa melepaskan Sagara. Sore tadi keduanya hanya tenggelam dalam ego masing-masing.

Ucapan Sagara berhasil membuat dirinya kembali merasakan jatuh cinta. Jantung yang berdegup kencang, ia tidak tau harus berbuat apa. Kata kata tak bisa keluar dari mulutnya. Bastian total berada di masa awal pacaran, merasakan apa itu cinta dari anak berandal yang tergila-gila padanya, Sagara. Bastian tidak berkata-kata, ia menarik tengkuk pemuda itu dan langsung memberikan ciuman hangat kepada Sagara. Pipi keduanya memerah dan Sagara tak tinggal diam. Ia tidak ingin melepaskan Bastian untuk kesekian kalinya, ia mendekapnya sangat erat dan muncul rasa tak ingin melepaskannya sampai kapan pun.